"Mas, ada air panas?". Tanyaku pada salah satu prama yang tengah duduk sambil ngobrol santai bersama prami.
Saat itu pukul sepuluh lewat tiga puluh menit malam hari. Kereta Bima baru beberapa saat meninggalkan stasiun Purwokerto menuju Yogyakarta.
Aku tahu prami yang jadi teman ngobrol itu. Namanya Mitha. Karena dia yang melayani aku tiga jam sebelumnya, saat jam makan. Saat itu resto dalam kondisi ramai. Untuk duduk saja, harus nunggu beberapa lama.
"Ada, seharga teh" jawab prama bernama Agus. Dengan sigap dia berdiri dari tempat duduknya.
"Seharga teh?" ucapku dalam hati. Aku masih belum nyambung dengan acapan Agus itu. Namun sekejap ku langsung menyahut "berapa?"
"Sepuluh ribu", jawab Agus.
Aku segera sodorkan termos kecil ukuran 300 mililiter. Dan tak lama Agus serahkan termos itu ke salah satu prami lain yang tengah sibuk di belakang meja dapur. Tak lama, di seberang sana ku lihat dia menuangkan dua gelas air panas ke dalam termos itu.
Di saat yang sama, aku meraih dompet di kantong celana. Ku cari duit receh. Ketemulah pecahan dua puluh ribu. Ku serahkan ke Agus dan dia kembalikan uang pecahan sepuluh ribu. Untuk kedua kalinya transaksi di resto ini, aku tidak diberi struk.
Setelah ditutup rapat, Agus menyerahkan termos ke aku sambil menyerahkan juga teh yang sudah dikemas dalam gelas kertas siap saji. Terbungkus rapih dalam plastik. Kemasan teh itu berisi satu ceh celup dan sekantong gula batu.
"Ini apa" tanya ku kembali ke Agus. Masih belum ngeh karena sambil menahan kantuk.