Lihat ke Halaman Asli

Rosidin Karidi

TERVERIFIKASI

Orang Biasa

Sertifikat Perkawinan dan Belajar Menjadi Orangtua

Diperbarui: 23 November 2019   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi keluarga bahagia | sumber: freepik.com

Isu diberlakukannya sertifikat perkawinan yang dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dinilai menuai keresahan di sejumlah kalangan. Pro dan kontra kemudian berunculan dari sejumlah pihak.

Fokus Pemerintahan Jokowi membangun manusia, disikapi mengeluarkan kebijakan sertifikat perkawinan. Mungkin maksudnya baik. Keluarga adalah pilar membangun negara. Kuatnya keluarga, menjadi jaminan kuatnya sumberdaya manusia.

Untuk menjadikan keluarga kuat, maka suami istri pun harus paham membangun keluarga. Untuk paham tentang keluarga, maka perlu pelatihan dan berujung diterbitkan sertifikat, sebagai tanda mereka menguasai kurikulum yang diajarkan.

Dalam kebijakan tersebut, sertifikat diwacanakan sebagai syarat untuk menikah. Lebih dalam lagi, ternyata kurikulum pelatihan selama tiga bulan itu lebih banyak tentang kesehatan. Seputar reproduksi, menyiapkan gizi perkembangan anak dan stunting.

Pertanyaan, apakah pengetahuan pengantin tentang kesehatan sudah cukup menjadi pilar kokohnya keluarga. Sampai akhirnya akan diputuskan menjadi syarat perkawinan. Atau lebih luas lagi, apakah sertifikat perkawinan jadi jaminan langgengnya rumah tangga dan hasilkan manusia unggul?

Menurut saya, kebijakan prematur ini harus digodok matang.
Bahkan Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid merasa dirinya belum Dia lojak bicara akan kebijakan itu. Meski sebenarnya selama ini di Kantor Urusan Agama, setiap pasangan calon pengantin diminta mengikuti bimbingan perkawinan (bimwin).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku setuju atas rencana tersebut. Hal itu karena melihat tingginya angka perceraian akibat minimnya bekal berkeluarga. Dari sejumlah sumber menyebutkan, peristiwa perkawinan selama setahun mencapai 2 juta, dan 365.000 pasangan kemudian bercerai.

Namun demikian, MUI meminta agar sertifikasi ini jangan sampai menunda atau menghambat pernikahan yang telah direncanakan.

Selanjutnya MUI juga memberikan rambu-rambu kurikulum, pengetahuan yang dibutuhkan membangun rumah tangga. Pengetahuan dimaksud antara lain membangun hubungan suami istri, mendidik anak, dan tata keluarga menurut agama dan pemerintah.

Sementara Komisi VIII DPR RI mengingatkan bahwa kebijakan tersebut tidak boleh jadi beban calon pengantin. Termasuk dalam segi waktu pelatihan dan pembiayaan. Jangan hanya karena belum dapat sertifikat, akhirnya pernikahan batal. 

Tantangan Pelaksanaan Kebijakan
Sampai saat ini, dalam tubuh pemerintah belum ada kata sepakat tentang rumusan sertifikat perkawinan. Kemenko PMK, Kemenag, dan Kemenkes, masih kekeh dengan programnya masing-masing. Hanya saling beririsan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline