Lihat ke Halaman Asli

Rosidin Karidi

TERVERIFIKASI

Orang Biasa

Saatnya Berhaji, Ayo Luruskan Niat sejak Dini

Diperbarui: 29 Desember 2018   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jemaah haji dari berbagai negara usai wukuf di Arafah menuju Masjidil Haram | dokumen pribadi

"Mimpi itu, serasa di depan mata. Meski jauh di seberang lautan, nampak begitu dekat. Bersimpuh dan sujud di pelataran Masjidil Haram, depan Kabah. Linang air mata mengalir bak derasnya kerinduan ku pada Mu. Sebuah panggilan, pasrahkan jiwa raga, tuk menuai mabrur."

Haji. Ibadah penyempurna rukun Islam, puncak kepasrahan manusia kepada sang Khalik. Ya Allah... Seberat apapun, kuatkanlah, berikanlah kelapangan atas ikhtiar ku ini. Pintaku, sebelum Engkau cabut nyawaku, izinkanku berkunjung ke rumah Mu, Baitullah. Aku rindu pada Mu.

Barangkali itulah sepenggal doa ayahku, dengan segenap upaya berangkat haji bersama istri tercinta, ibuku. Tahun 2004 silam, mereka berdua berangkat ke Tanah Suci. Namun, ternyata maut harus memisahkan mereka. Ayahku meninggal di Madinah, usai menyelesaikan rangkaian prosesi ibadah haji.

Cerita bahagia, yang mestinya jadi bahan "guyonan" jelang senja tak kunjung tersampai ke Tanah Air. Namun sepotong bahagia itu masih ada hingga saat ini. Dialah ibuku. Meski sudah hampir lima belas tahun, cerita di Tanah Suci masih melekat dalam ingatan. Tergambar betapa kebahagiaan itu puncak kebersamaan selama mengarungi bahtera rumah tangga.

Gambaran kenangan masih terasa begitu segar, bahkan dalam ingatanku. Masih kuingat, betapa ayahku duduk tenang saat sarapan pagi terakhir di rumah. Meja dan kursi yang tidak lagi utuh bentuknya. Lauk sederhana, sambal goreng tauco dan tempe goreng menjadi teman setia sepiring nasi yang tak lagi panas.

Begitu lahap, seakan memberi isyarat, inilah makan terakhir di rumah sejak empat puluh tahun silam. Sementara ibuku mulai mengeluarkan koper-koper yang hendak dibawa ke asrama. Kami anak-anak membantu seraya memastikan tidak ada barang tertinggal.

Kini, jasad ayahku telah istirahat tenang di Pemakaman Baqi', sebelah timur masjid Nabawi, Madinah, bersama para syuhada lainnya.

Itulah sepenggal cerita haji 2004. Masa itu, berangkat haji praktis tanpa kendala waktu. Tanpa menunggu, tiada antrean. Siapa pun dapat "mendaftar langsung berangkat". Namun persiapan mental, ibadah, fisik, dan finansial, tetaplah sama. Semuanya dimulai niat kuat nan tulus ikhlas.

Meski bukan sebagai jemaah, empat kali berhaji bagi penulis telah memberikan gambaran betapa untuk melaksanakan haji mesti disiapkan secara matang sejak dini. Ibadah suci ini, bukan saja persoalan teknis menunggu, berangkat, ritual, dan pulang di panggil "pak haji". Tapi lebih dari semua itu, mampu memberikan dampak positif bagi diri pribadi dan masyarakat lingkungan sekitar.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline