Semangat Dewan Perwakilan Rakyat untuk memisahkan kewenangan Kementerian Agama dalam penyelenggaraan haji sebagai regulator dan operator semakin menguat. Sejalan dengan itu, evaluasi penyelenggaraan haji dirasakan masih banyak meninggalkan masalah yang tak kunjung selesai. Setidaknya oleh sekelompok pihak. Banyak analis berpendapat munculnya masalah tersebut tak lepas dari dualisme kewenangan Kemenag, yakni sebagai regulator sekaligus operator.
Sependek pengamatan penulis, berita di sejumlah media yang terbit kala itu, menunjukkan betapa banyak masalah dalam penyelenggaraan haji dari tahun ke tahun. Sebut saja masalah katering, kemahalan sewa hotel, asrama haji, kualitas transportasi, kenyamanan jemaah, penanganan kesehatan, dan sebagainya.
Hal ini menjadi dasar inisiatif menyusun undang-undang yang sekarang ini dikenal dengan UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelola Keuangan Haji.
UU yang disahkan diakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, menitikberatkan pada optimalisasi dana haji yang kian tahun semakin menumpuk. Upaya Kemenag dalam mengelola dana haji dirasa belum optimal dan kurang berdampak nyata pada kualitas haji secara keseluruhan. Makanya melalui kehadiran UU itu, optimalisasi dana haji diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Alhasil, dari amanah UU tersebut dibentuklah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang diberi mandat kelola dana haji secara penuh. Organ BPKH berupa Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana telah dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 26 Juli 2017 lalu.
***
Seiring dengan waktu berjalan, ternyata Kementerian Agama menunjukkan komitmen luar biasa dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dalam waktu singkat, bahkan mampu menjalankan kedua fungsi dengan sama baiknya. Banyak kebijakan dikeluarkan, dilandasi regulasi kuat sekaligus menjalankan dan menerapkan regulasi tersebut dan berjalan dengan sangat baik.
Hal ini terverifikasi dengan semakin suksesnya penyelenggaraan ibadah haji dari tahun ke tahun. Tahun 2014 tercatat indek kepuasan jemaah haji mencapai 81,0 tahun berikutnya 2015 meningkat menjadi 82,6. Tahun 2016 Kementerian Agama kembali menunjukkan komitmennya sebagai regulator sekaligus operator dalam penyelenggaraan ibadah haji di mana indeks kepuasan jemaah meningkat dari tahun sebelumnya menjadi 83,83.
Tahun 2017 kemarin, penyelenggaraan Haji bisa dibilang paling sukses sepanjang sejarah. Nyaris tanpa cacat meskipun kuota meningkat signifikan dan profil jemaah didominasi oleh terjemah lansia dan berpotensi resiko tinggi. Namun bisa diselenggarakan dengan baik. Tingkat kepuasan jemaah pun meningkat menjadi 85,85.
Dalam hal pengelolaan dana haji, sebelum lahirnya BPKH, Kemenag berpedoman UU 13 2008. Sesuai kewenangan dalam UU itu, apa yang dilakukan Kemenag dalam kelola dana haji relatif tidak banyak. Uang lebih dari Rp 100 triliun itu, 63 persen disimpan di 17 bank syariah dalam bentuk deposito, dan sisanya dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Upaya ini merupakan bentuk optimal dalam mengelola dana haji yang bisa dilakukan. Uang titipan jemaah relatif bahkan boleh dibilang sangat aman, dan sudah berjalan hampir 10 tahun.
Meski hanya mengandalkan optimalisasi nilai manfaat (baca: bunga bank) dari kedua skema di atas, toh ternyata sudah mampu meringankan beban finansial jemaah yang cukup signifikan. Terbukti tahun 2017, setiap jemaah memperoleh subsidi dari nilai manfaat mencapai Rp 26.896.478,dan terus meningkat menjadi Rp 31.014.398 pada tahun 2018. Hitungan ini lebih besar dari setoran awal jemaah saat mendaftar, yakni Rp 25 juta.