Namanya Alex, tapi biasa disapa Alek. Setelah diajak sang paman, Pria berkulit coklat kehitaman itu mulai menekuni dunia jahit-menjahit. Saat itu usianya baru sepuluh tahun. Suatu masa di mana ia pun belum menuntaskan pendidikan dasarnya. Orangtuanya hanya sebagai buruh tani di kota kelahirannya, Karawang. Dengan dua saudaranya yang lain, pria berumur seperempat abad ini berusaha untuk menyekolahkan adik perempuannya yang bungsu. Dengan sedikit dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sedikit morat marit, si adik sudah duduk dibangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Pria ini kutemui saat minggu senja di ruang kerjanya, daerah Kemanggisan-Jakarta Barat. Ruang kerja yang tidak terlalu luas itu cukup untuk menampung sebuah meja besar guna memotong kain, lima mesin jahit dan beberapa tempat lowong untuk menaruh barang-barang. Seolah tak mau menyia-nyiakan tempat kosong, bagian atas ruang kerja itu dibuat rak yang digunakan sebagai gudang kecil, tempat menaruh sisa-sisa produksi. Jauh lebih ke belakang, tak dapat kujangkau dengan mata, tapi rasanya itu tempat melepas lelap.
Beranjak dewasa, ketidakcocokan dan keterkekangan dirasakan Pria beristrikan mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Jordania ini. Ia tak mau lagi menguntit di belakang Pamannya. Saat ini ia bekerja di tempat Pak Soleh-salah satu rekanan Pamannya dulu- yang memproduksi topi pasar dan dijual pada Empunya toko di Pasar Tanah Abang. Dari tujuh orang buruh yang ada, lima orang sebagai penjahit dan dua orang bagian finishing. Tak satupun pekerja wanita hadir di situ. Ini karena waktu pengerjaannya yang tidak tentu, terkadang normal tapi lebih sering lembur hingga pukul sebelas malam.
Lembur bukan suatu hal yang mengganggu kenyamanan tidur pria berambut hitam legam ini. Lembur itu justru nikmat baginya. Pak soleh sering kali membelikan cemilan di malam hari. Keakraban dengan rekan sekerja justru lebih terjalin saat lembur.
Dikala order sepi barulah membuat hati Alek resah gundah gulana. Bagaimana tidak, ia harus mengirit lagi pengeluarannya, karena tidak ada pemasukan. Duka lain adalah ketika perselisihan dengan rekan sekerja meski tidak berlangsung lama. Pun dengan majikan perihal pembayaran yang tertunda atau order yang harus dikerjakan terburu-buru mendekati deadline karena tertahan di tangan majikan. Karya yang tak sesuai dengan pesanan kadang kali mewarnai perjuangan buruh konveksi.
Upah yang disepakati berkisar Rp. 1,000 sampai Rp. 1,200 per topinya, dan dikerjakan bersama dengan pekerja lainnya. Upah tiap orang berbeda, tergantung tingkat kesulitannya. Jarang terjadi tawar menawar antara Pak Soleh dengan Alek. Dalam satu hari, Alek mampu menyelesaikan seratus buah topi. Saat pulang kampung Alek sanggup membawa Rp. 600,000 bahkan sampai Rp. 2.000.000 kalau orderan sedang menggila. Bagi Alek uang sejumlah itu sudah mencukupi kebutuhan keluarganya. "Kalo buat saya sih cukup aja. Ya orang kan gak ada cukupnya. Orang kerjaannya ya segini sih. Kita mau gimana lagi. Yang penting gak kekurangan," ujarnya pasrah.
Kata cukup memang sulit ditakar. Jika cukup, tentu tak perlu meminjam. Gali lubang tutup lubang sering juga dilakukan Alek. bahkan pernah harus menjual televisi satu-satunya demi mencukupi kebutuhan hidup. Yang utama ia penuhi adalah pangan dan biaya periksa kehamilan istrinya. Pernah suatu kali tak ada uang untuk membeli susu hamil, terpaksa ke warung membeli susu sachet.
Berprofesi buruh konveksi hampir 15 tahun, tak membuat Alek bercita-cita sebagai pemilik usaha. Ketika sang buah hati lahir dan kebutuhan hidup meningkat, ia tetap memilih terus bekerja sebagai buruh konveksi, atau buruh lainnya untuk menambah penghasilannya. Alek lebih memilih menjadi kuli, daripada bos. "Mendingan jadi kuli kayak gini aja. Enak. Tenang. Gak pusing. Kan kalo jadi bos, terus bangkrut, biaya habis buat nangung karyawan gajian. Harus mulai dari pertama lagi. Saya gak bisa dari situnya. Kalo soal kerjaan mah apa aja juga saya bisa," aku pria ini merendah.
Seusai perjumpaanku dengan Alek, tersimpan segala rasa keingintahuan juga pengandaianku. Mengapa Alek hanya berpikir menjadi kuli saja cukup ? Tak salah memang jika menjadi pekerja. Tapi.. Ah.. seandainya saja Alek berani mengambil sedikit resiko, melakukan pinjaman, dan mulai merintis usaha konveksinya.. Mungkin saja kehidupan ekonominya akan membaik. Bahkan siapa kira bisa menjadi pengusaha sukses dan justru dapat membuka lapangan pekerjaan bagi yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H