Lihat ke Halaman Asli

Roselia Maudita

Mahasiswa Universitas Airlangga

Kenaikan PPN 12% Antara Kebutuhan Pendapatan Negara Atau Malah Menjadi Tekanan Bagi Masyarakat?

Diperbarui: 26 Desember 2024   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PPN (Sumber : Pinterest)

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 kini telah memicu banyak perdebatan di kalangan masyarakat. Kebijakan ini diambil oleh pemerintah sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengatasi defisit anggaran. Namun, banyak orang merasa bahwa kebijakan ini akan menambah beban bagi masyarakat, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil. PPN yang lebih tinggi ini akan diterapkan pada berbagai barang dan jasa, yang berpotensi menyebabkan inflasi meningkat.

Pemerintah berargumen bahwa peningkatan PPN diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung program-program sosial yang ada. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara hingga Rp 80 triliun. Namun, analisis dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa dampaknya terhadap daya beli masyarakat bisa sangat signifikan. Kenaikan PPN ini diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran masyarakat, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah.

Pemerintah memperkirakan dampak inflasi akibat kenaikan PPN hanya sekitar 0,2%. Namun, banyak ekonom meragukan angka tersebut dan memperkirakan inflasi bisa mencapai 4,11% pada tahun depan. Kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN dapat mengurangi daya beli masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat berdampak pada penurunan konsumsi yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi.

Reaksi negatif dari publik mencerminkan adanya ketidakpercayaan terhadap pemerintah dalam pengelolaan pajak. Banyak orang merasa pajak yang mereka bayar tidak sebanding dengan layanan publik yang mereka terima. Pengamat ekonomi memperingatkan bahwa efek dari kenaikan PPN bisa lebih besar daripada yang diperkirakan oleh pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika perusahaan harus menyesuaikan biaya operasional mereka.

Untuk mengurangi dampak negatif, pemerintah telah menyiapkan paket stimulus yang mencakup bantuan pangan dan insentif pajak untuk sektor tertentu. Namun, efektivitas paket stimulus ini masih menjadi pertanyaan bagi banyak kalangan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa bantuan tersebut bersifat sementara dan tidak cukup untuk menyelesaikan masalah struktural dalam perekonomian. Oleh karena itu, evaluasi lebih lanjut mengenai kebijakan ini sangat diperlukan.

Kenaikan PPN juga dikhawatirkan akan berdampak buruk pada sektor usaha kecil dan menengah (UMKM). UMKM adalah sektor yang paling rentan terhadap perubahan kebijakan pajak karena keterbatasan modal dan daya saingnya. Jika harga barang naik akibat PPN, permintaan terhadap produk UMKM bisa menurun drastis. Hal ini dapat menyebabkan kerugian besar bagi pelaku usaha kecil.

Kenaikan tarif pajak ini juga menjadi isu politik yang hangat menjelang pemilu mendatang. Beberapa partai politik mulai mengkritik kebijakan ini sebagai langkah yang tidak populis dan merugikan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali keputusan tersebut agar tidak kehilangan dukungan dari publik. Dialog terbuka dengan masyarakat sangat penting untuk menjelaskan maksud dari kenaikan PPN.

Sementara itu, beberapa pengusaha mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap dampak jangka panjang dari kenaikan PPN ini. Mereka berpendapat bahwa meskipun ada insentif dari pemerintah, efek inflasi tetap akan membebani konsumen dan mengurangi daya beli mereka. Ini bisa berdampak pada pendapatan perusahaan dan akhirnya mempengaruhi gaji karyawan. Oleh karena itu, kebijakan pajak harus dirancang dengan hati-hati agar tidak merugikan semua pihak.

Secara keseluruhan, peningkatan PPN menjadi 12% mencerminkan dilema antara kebutuhan pendapatan negara dan tekanan bagi masyarakat. Kebijakan ini memang dapat meningkatkan penerimaan negara tetapi harus sejalan dengan perhatian terhadap daya beli masyarakat. Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini dapat memicu ketidakpuasan sosial dan dampak ekonomi yang lebih luas. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan ini agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline