“Inspirasi memberimu keinginan. Keputusan menjadikannya sebuah tujuan. Tindakan menjadikannya nyata.” – Joe Vitale
Bantul-(MTsN 1 Bantul)
"Berapa jarak Sewon dan Kaliaurang?
Empat puluh kilometer.
Itu jawaban matematis!
Berapa Jarak antara Sewon dan Kaliurang? adalah jarak antara hatimu dan hatiku yang berdegup bersama, di waktu yang sama.
Itu kalimat puisi. Uraikan menjadi cerpen. Judulnya Jarak.
Cerpen ini kuberi judul Jarak. Tapi pembaca budiman jangan keliru, Jarak ini bukan nama tanaman. Ini adalah Jarak antara rumahku dengan rumahmu. ....
Lanjutkan kalimat-kalimat itu! Maka jadilah sebuah cerpen."
Itulah salah satu contoh mengawali menulis cerpen yang diberikan Prof. Dr. Suminto A Sayuti dalam acara "Pelatihan Menulis Cerpen Berwawasan Kebhinekaan" di hadapan guru-guru Bahasa Indonesia MTs se-Kabupaten Bantul, Selasa, 23 Juli 2024 di aula MTsN 4 Bantul.
Keragaman Peyek mbok Tumpuk dan Peyek Jingking
Profesor sastrawan itu memulai dengan cerita keragaman yang sengaja dipilih sebagai tema dalam pelatihan menulis cerpen. Pelatihan diselenggarakan oleh PPM FBSB UNY bekerja sama dengan MGMP Bahasa Indonesia MTs Kabupaten Bantul. Pelatihan yang diikuti 60 guru itu juga dihadiri oleh kepala MTsN 4 Bantul, Sugeng Muhari, S.Pd.Si, M.Pd. dan Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kemenag Bantul, Ahmad Musyadad, S.Pd.I., M.S.I. Sebanyak 4 guru MTsN 1 Bantul juga tak mau ketinggalan mengikuti acara ini. Mereka Adalah Wicaksono, Noor Aini, Anuk Kuswanti dan Rusmantara.
"Kalau saya ke Bantul saya ingat peyek mbok tumpuk. Suatu hari saya dapat peyek jingking dari Pundong. Ini susu Boyolali (melihat Andrian Eka Saputra, guru MTs dari Boyolali). Ada susu wonosobo (melirik Ridho, dosen UNY asal Wonosobo). Peyek mbok tumpuk dengan peyek jingking merupakan contoh keragaman. Walaupun sama-sama peyek, semuanya enak. Tidak bisa peyek mbok tumpuk diukur dengan peyek jingking Pundong. Karawitan Jogja dengan karawitan Solo tidak bisa dibandingkan. Semuanya baik." ujarnya.
Penulis antologi puisi Malam Taman Sari itu mengurai lebih lanjut tentang keberagaman. Menurutnya Indonesia memiliki beratus bahasa lokal. Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo bahkan mengemukakan bahwa Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, sebagaimana dirilis di situs https://www.kemdikbud.go.id 30 Januari 2024. Hal itu disebabkan Indonesia memiliki beribu pulau dan suku bangsa.
"Kita memiliki satu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pembebasan kita semua dari telikung lokalitas kita masing-masing. Bayangkan saja! Saya ke Papua ditanya: ko ma, ko pi mana? Tidak ngerti saya. Padahal maksudnya kau mau pergi ke mana. Harusnya jawabnya sa pi kofa (saya pergi ke kota). (seperti juga kalimat) Ngo di ko no (nanti dulu), maring ngendi ko (mau pergi ke mana), maka perlu ada Bahasa Solo Jogja. Supaya membebaskan telikung dari Jawa lokal Banyumas. Bahasa Indonesia fungsinya ya seperti itu"