"Sebenarnya berapa banyak uang sih yang kita butuhkan?"
Aku mengajukan pertanyaan itu pada suami sambil merenung. sebenarnya pertanyaan itu aku tujukan pada diriku sendiri. Aku menghitung-hitung dalam pikiranku biaya hidup yang kami butuhkan setiap bulannya.
Saat itu aku menyimpulkan bahwa kebutuhan hidup kami sebenarnya nggak banyak-banyak amat. Selama ini kami menjalani gaya hidup sederhana dengan keinginan yang tidak terlalu neko-neko. Jadi seharusnya, penghasilanku perbulan bekerja di kantor masih bisa menutup kebutuhan hidup kami sehari-hari.
Karena itu aku menyarankan suami agar sementara berhenti jualan mie ayam setiap hari di rumah dan hanya menerima pesanan di hari Sabtu Minggu. Sehingga di hari biasa dia bisa fokus ngurusin El, anak kami yang saat itu masih berusia 2 tahun.
Pasalnya beberapa bulan terakhir ini, aku merasa hidup kami begitu kacau dan rusuh oleh terlalu banyak hal yang harus dilakukan.
Sejak suami mulai jualan mie ayam di depan rumah, pagi-pagi sekitar jam 4 subuh dia sudah berangkat untuk belanja bahan ke pasar. Begitupun denganku bangun pagi, langsung sibuk memasak untuk keluarga, beresin rumah dan ngurusin El.
Suami sepulang dari belanja, fokus nyiapin jualan, nyiapin sayur, bumbu, peralatan, bungkus makanan, dan membersihkan etalase jualan untuk siap mulai buka warung.
Sebelum berangkat kerja, aku udah mandiin El, lalu kami sarapan bersama. Aku berangkat kerja, suami di rumah nungguin warung mie ayam sembari jagain El.
Pada saat jam istirahat, aku yang ngantor tak jauh dari rumah, pulang untuk makan siang di rumah. Pada saat itu, biasanya aku mendapati El sedang berdiri di depan pembatas pintu depan dengan wajah cemong-cemong mungkin bekas makan sesuatu.
Suami kadang sibuk lagi masak pesanan pembeli, kadang sibuk mengecek apakah ada yang beli online dan selalu dalam keadaan siaga.
Sehabis makan siang biasanya aku bersihin badan El, mengganti baju nya dan menyusui hingga dia bobok siang. Lalu kembali ke kantor.