Di bawah payung hitam yang membentang di depan Istana Negara, bersamaan dengan luka kolektif yang belum sembuh, menghasilkan kesunyian yang berbicara lebih lantang daripada teriakan. Aksi Kamisan menjadi bentuk protes yang telah berlangsung sejak 2007, menjadi simbol solidaritas tanpa suara bagi para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang menuntut keadilan yang tak kunjung tiba walaupun sudah 2 kali ganti kepemimpinan. Menarik kembali konteks sejarah, pelanggaran HAM terjadi karena dinamika politik yang dominan dengan kurangnya transparansi politik hingga tidak independennya sistem hukum pada masa orde baru, menyebabkan peristiwa 1965, penembakan misterius tahun 1982-1985, penghilangan secara paksa pada 1997-1998, tragedi Mei 1998, Semanggi I & II, tragedi Trisakti, hingga kasus pembunuhan Munir yang sampai detik ini belum diselesaikan dengan jelas oleh pemerintah.
"Ketidakjelasan" itulah yang ingin diusut tuntas oleh keluarga korban dimana aksi kamisan menjadi gerakan yang lebih dari sekedar aksi damai, melainkan menjadi bentuk solidaritas yang menekankan pentingnya politik yang berpihak pada kemanusiaan. Aksi diam setiap hari Kamis ini di inisiasi oleh tiga tokoh yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yakni Maria Katarina Sumarsih ibu dari korban tragedi Semanggi I, Suciwati Munir istri mendiang Munir Said Thalib, serta Bedjo Untung yang ialah perwakilan keluarga korban tragedi 1965-1966.
Aksi Kamisan dalam Perspektif Representasi Substantif dan Simbolik
Di tengah dominasi politik yang berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan elit, aksi kamisan menjadi alternatif representasi politik yang tidak hanya memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, tetapi juga mampu meminimalisir aksi pelanggaran HAM lain dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Berkaitan dengan konsep representasi politik, menurut Hanna Pitkin pada bukunya "The Concept of Representation" (1967), terdapat 4 jenis representasi yakni representasi formal, deskriptif, substantif, dan simbolik. Melihat dinamika aksi kamisan yang telah dilakukan ratusan kali, dapat dilihat melalui perspektif representasi substantif dan simbolik. Menurut Pitkin, "acting in the interest of the represented in a manner responsive to them", fokus utama dalam representasi substantif adalah tindakan yang dilakukan oleh representatif untuk memenuhi kebutuhan konstituennya. Dengan demikian, isu pelanggaran HAM yang diabaikan oleh negara dan institusinya menjadi kepentingan dan aspirasi yang diperjuangkan oleh kelompok yang terabaikan bahkan terpinggirkan yakni korban dan keluarga pelanggaran HAM.
Tidak hanya bicara tentang hadirnya wakil secara simbolis, aksi kamisan telah berulang kali mendesak pemerintah dengan mengkritisi lembaga legislative maupun eksekutif untuk memenuhi tanggung jawabnya. Dapat disimpulkan bahwa aksi kamisan sebagai bentuk representasi politik substantif, tidak selalu membutuhkan aktor formal, tetapi lebih menekankan gerakan masyarakat yang konsisten yang terus memastikan bahwa suara-suara kelompok rentan tetap didengar dan diperjuangkan. Dalam aksi kamisan juga tak lepas dari representasi formal dimana bekerja dalam institusi baik lembaga maupun aturan yang dilihat dari pemilu. Pada pemilu tahun 2024 ini banyak mengandung pro dan kontra karena adanya keunggulan dari kandidat yang diprediksi juga menjadi pelaku dari kasus pelanggaran HAM yang ada. Maka, banyak sekali warga yang mengencam terkait pencalonan kandidat tersebut karena seolah-olah pemerintah mengabaikan permasalahan HAM yang belum ada penyelesaiannya dan hal tersebut memberikan luka baru terhadap keluarga korban pelanggaran HAM, terlebih karena tidak adanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di dalam visi misi kandidat/kabinet terpilih.
Beranjak ke symbolic representation yang merupakan salah satu bentuk representasi yang digunakan untuk mewakili suatu isu yang dianggap krusial oleh masyarakat termasuk aksi kamisan yang mana menggunakan simbol atau keberadaan tertentu. Menurut Pitkin, "its power to evoke feelings or attitudes", dapat disimpulkan bahwa dalam menyuarakan isu yang ada di masyarakat, lebih bermain di ranah emosi di mana seorang wakil dianggap sebagai simbol atau lambang identitas, nilai, atau aspirasi kelompok yang diwakili. Pada dinamikanya, aksi kamisan memiliki berbagai simbol dengan berbagai makna pula seperti payung hitam menjadi ikon yang melambangkan perlindungan terhadap korban pelanggaran HAM, selain itu juga penggunaan pakaian serba hitam oleh para peserta aksi yang melambangkan kedukaan, kekecewaan, perlawanan, hingga semangat kolektif dan kuatnya solidaritas yang dibawa. Berbagai poster dengan wajah para korban menjadi pengingat akan perjuangan yang terus berlangsung serta menolak lupa terhadap kasus keji tersebut. Lokasi yang digunakan untuk melangsungkan aksi juga memiliki tujuan simbolik dan menjadi tempat strategis dalam protes langsung terhadap pusat kekuasaan terkait dengan ketidakadilan yang terjadi. Pada aksi kamisan ke-836 juga terdapat representasi simbolik dimana mereka mengirimkan "surat terkahir" kepada Presiden Jokowi sebagai ungkapan kepada Presiden Jokowi yang dianggap tidak menepati janjinya dalam menuntaskan kasus HAM berat hingga akhir kepemimpinannya.
Aksi Kamisan Sebagai Bentuk Representasi Politik Melalui Gerakan Masyarakat Sipil
Adanya rasa ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap pemerintahan maka mampu menciptakan gerakan masyarakat sipil sebagai bentuk demokrasi. Adanya direct participation of the immediately concerned people dimana aksi kamisan terbentuk atas orang-orang yang berjuang dengan tujuan yang sama tanpa terafiliasi dengan partai politik untuk mengingatkan pemerintah terhadap suatu masalah berat yang harus diselesaikan dalam bentuk demo. Aksi kamisan menjadi gerakan yang berkembang secara organik karena co-operating, tidak memiliki relasi dengan ideologi, institusi, ataupun politisi tertentu sehingga aksi kamisan memperjuangkan tuntutan HAM dan mengawal kepentingan rakyat sebagai nilai universal (Dible and Ford, 2019). Aksi kamisan juga dipahami sebagai contentious politics (Tarrow, 2011) karena konfrontasi yang sejalan dengan desakan politik dimana munculnya reaksi terhadap perubahan termasuk pelanggaran HAM ini. Aksi kamisan termasuk dalam gerakan sosial baru mulai dari isu yang dibawa yang tidak terpusat pada aspek ekonomi hingga pada penekanan pada sejumlah aksi simbolik dengan taktik protes yang diam-diam dan pakaian hitam untuk menarik perhatian publik. Selain itu, aksi Kamisan melibatkan banyak kelompok masyarakat yang berbeda, seperti aktivis hak asasi manusia, seniman, mahasiswa, korban, dan masyarakat umum, yang juga menjadi ciri dari gerakan sosial baru yang berbasis pada penuntutan hak asasi manusia.
Sebagai representasi politik yang berakar pada perjuangan hak asasi manusia, aksi Kamisan menggunakan elemen seperti payung hitam, pakaian hitam, dan lokasi strategis di depan Istana Negara untuk melambangkan kegelapan, kedukaan, perlindungan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Aksi ini tidak hanya menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan, tetapi juga menunjukkan solidaritas dan keberlanjutan perjuangan HAM. Ini juga mengingatkan pemerintah dan masyarakat bahwa masalah HAM masih penting. Melalui tindakan ini, masyarakat sipil menuntut negara bertanggung jawab dan menunjukkan cara politik alternatif yang mendukung keadilan dan kemanusiaan. Aksi Kamisan adalah pengingat bahwa perjuangan untuk hak asasi manusia tidak hanya berfokus pada masa lalu tetapi juga upaya untuk masa depan yang lebih adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H