Lihat ke Halaman Asli

Rasa yang Salah

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit cerah siang ini, tetapi bagi Minah langit terasa mendung kelabu. Perjalanan panjang telah dilalui sejak semalam dari kota hingga sampai ke desanya. Turun dari angkot, Minah masih harus melanjutkan perjalanan dengan naik ojek.

Suasana desa masih sama seperti ketika Minah meninggalkan desanya dua tahun lalu. Sawah-sawah masih nampak subur, ada yang baru saja ditanam, ada juga yang sudah siap dipanen. Sungguh berbeda dengan suasana di kota di mana sawah-sawah telah beralih fungsi dengan dibangunnya beragam perumahan di atasnya. Jalanan desa masih ditutup bebatuan bercampur tanah, entah kapan pemerintah akan mengaspal jalan ini.

Sesampai di rumah didapatinya rumah tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Minah meletakkan tas besarnya kemudian duduk di bangku bambu panjang yang ada di teras rumah. Terlihat ibunya pulang dengan membawa sebilah pisau. Oh tahulah Minah bahwa ibunya baru saja rewangan atau membantu orang yang sedang punya hajat.

Ibunya heran melihat Minah tiba-tiba sudah ada di rumah. Lebih heran lagi tatkala melihat raut muka Minah yang tak biasa. Biasanya Minah selalu ceria menceritakan apa saja yang sedang dipikirkan, tapi kali ini mukanya tampak pucat dan tak sepatah kata pun yang terucap begitu melihat ibunya pulang.

“Kapan pulang? Ada apa Minah? Kok tumben-tumben ndak biasanya lho”, ibunya menyapa sambil duduk di sebelah Minah.

Minah masih diam saja, sekarang tatap matanya kosong. Pandangannya hanya lurus ke depan seperti orang ling-lung.

“Ada apa Minah? Katakan sama ibu kenapa kamu pulang tiba-tiba tanpa kabar dulu? Lagi pula ini kan bukan hari libur”, Bu Nando semakin khawatir dengan keadaan anaknya.

Diperhatikannya Minah lekat-lekat dari kepala sampai ke kaki.

“Kamu sekarang tambah gemuk. Enak ya kerja di Jakarta?”. Ditanya seperti itu Minah tetap diam saja. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada perut Minah yang tampak lebih besar. Tanpa disadari kaus yang dipakai Minah mencetak lekat ke perutnya sehingga nampak jelas perutnya yang membulat seperti orang hamil.

“Apa yang terjadi Minah? Kamu hamil ya? Siapa yang melakukan? Katakan pada ibu nduk!”, ibunya menggoncang-goncang kedua bahu Minah. Lagi-lagi Minah diam seribu bahasa.

Ibunya teringat dua tahun lalu Minah pamit mau kerja di Jakarta. Ini karena Tito tetangganya yang menjadi satpam di sebuah perumahan mewah di Jakarta mengatakan bahwa ada seorang ibu yang sangat membutuhkan asisten rumahtangga secepatnya. Ditawari gaji yang menggiurkan membuat Minah tanpa pikir panjang menyetujui untuk menjadi asisten rumah tangga di sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline