Bagi pendukung Liverpool, pertandingan game week I semalam melawan Arsenal adalah sebuah ujian terhadap kekuatan jantung dan mental. Sebuah drama bertabur gol dengan skor akhir Liverpool menang 4-3 berkat 2 gol Coutinho, Lallana, dan Mané. Bagi yang semalam tidak menyaksikan pertandingan atau mungkin sedang dalam hiatus dengan internet, saya yakin sampai detik ini ada puluhan video ulasan pertandingan yang bisa ditonton di Youtube.
Satu hal yang menarik (di antara banyak hal) dari pertandingan semalam adalah setelah Sadio Mané mencetak gol ke gawang Arsenal dan membawa Liverpool unggul sementara 4-1 atas klub kota London tersebut. Pemain berkewarganegaraan Senegal ini langsung berlari ke arah Jürgen Klopp yang sudah berlari dari bench dan siap menyambut Mané. Berikutnya, yang terjadi adalah sebuah selebrasi yang masih sangat langka di jagad EPL.
Mereka seperti merayakan pesta semalam: sebuah pertandingan pembuka melawan tim kuat di kandang lawan dan menang. Kejadian ini mengingatkan saat Adam Lallana mencetak skor di kandang Norwich pada Januari 2016 yang membuat Liverpool menang 5-4 (lagi-lagi sebuah drama). Kacamata Klopp bahkan sampai rusak:
Ini adalah bukti bahwa Klopp adalah pelatih yang mudah disukai dan dipercaya oleh pemain, tidak peduli baru berapa lama pemain tersebut bermain di bawah asuhan Klopp. Sebagai pelatih, taktik geggen pressing miliknya terbukti cukup ampuh sejauh ini untuk mendongkrak posisi Liverpool. Pendekatannya dengan pemain pun terlihat kebapakan. Ia memeluk pemain dan berkata hal-hal positif tentang mereka di depan media.
Para pemain juga sepertinya menganggap Klopp seperti sahabat. Tidak jarang mereka bergurau dengannya. Nathaniel Clyne bahkan memberi hadiah natal berupa kamus Bahasa Inggris. Sebuah langkah berani, sebab jika pelatih tidak memiliki rasa humor yang baik, bisa jadi itu dianggap hal yang tidak sopan mengingat Klopp adalah orang Jerman.
Humor itu juga yang menjadikan Klopp sebagai media darling di Inggris. Konferensi pers-nya selalu menarik untuk diikuti. Celetukan-celetukannya juga banyak yang lucu. Misalnya saat akan melawan United di Europa League, Klopp ditanya jurnalis tentang taktik. Ia pun menjawab, ”Saya tidak akan membahas soal taktik. Mereka di Manchester juga punya TV.” Sebuah keputusan yang benar karena Liverpool akhirnya menang di Old Trafford.
Bagi fans, Klopp juga orang yang mudah disukai. Ia menonton film dokumenter tragedi Hillsborough setelah menerima tawaran dari Liverpool, tidak mau diwawancara koran The Sun (sebab pemberitaan mereka tentang Hillsborough selama ini), meminta Anfield untuk lebih hidup di pertandingan kandang, terakhir, Klopp menirukan dansa ala Sturridge saat tur pra-musim ke Amerika Serikat.
Menurut saya, Klopp adalah people person. Disini kelebihan Klopp. Ia tahu bagaimana berkomunikasi dan memenangkan hati banyak orang. Bukan rahasia jika seorang pelatih berhadapan dengan pemain, pemilik klub, staf, pendukung, dan media. Sejauh ini, Klopp melakukannya dengan baik: ia mampu membuat pemain-pemain melakukan instruksinya; pendukung bersatu untuk mendukung tim; tidak ada kabar perseteruan dengan staf; tidak ada media yang memelintir perkataannya; bahkan pemilik memperpanjang kontraknya.
Memang ini sepak bola. Pelatih dinilai dari apakah ia mampu mengembangkan pemain dan membawa tim menjadi juara. Tapi, bukankah segalanya terasa lebih mungkin ketika sang pelatih memiliki karakter yang menyenangkan seperti Klopp? Harapan saya yang paling realistis adalah melihat selebrasi-selebrasi seperti di atas semakin sering terjadi. Kali ini, tolong, tanpa drama yang membuat jantungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H