Maraknya kasus kekerasan seksual menjadi sorotan akhir-akhir ini, masalah ini sudah sering sekali terjadi di berbagai daerah dan belum dapat diatasi semakin hari semakin meningkat. Kasusnya dilihat dari catatan kementerian pemberdayaan perlindungan perempuan dan perlindungan anak (PPPA) jumlah total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terkini di tahun 2021 hingga bulan september telah mencapai angka 5,628 kasus dan tentunya belum dengan yang tidak diketahui ,karena orang indonesia kerap kali menganggap jika ia terkait dengan pelecehan seksual,merasa itu adalah aibnya dan lebih memilih tidak lapor menyelesaikannya dengan kekeluargaan, seharusnya hal ini sangatlah penting untuk menindaklanjuti dan mengadili sang pelaku agar diberi ganjaran dan rehabilitasi.
Prilaku kekerasan seksual tentunya merugikan khususnya bagi kaum perempuan dan anak-anak dibawah umur, keamanannya sangat terganggu selalu merasa cemas juga khawatir apa lagi jika berpergian sendirian ,dan berpergian dimalam hari. Sangat rawan terjadi sebagai incaran Predator Seksual yang banyak berkeliaran. Persoalan-persoalan didalam ranah masyarakat yang merugikan,itulah tugas bagi Pemerintah dalam mengatasi dan menanginya,minimal perlu menindak tegas bagaimana hukuman orang-orang yang berbuat kriminal,jika untuk menghadapinya meminimalisir dengan Tindakan pidana dan diatur dalam penetapan undang-undang.
Perlu kita tahu jika RUU PKS Penghapus kekerasan Seksual di sahkan dapat dikatakan akan menguranginya dan mencegah niatan akan prilaku kekerasan seksual ada beberapa isi point penting didalam pasal-pasal RUU PKS Penghapus kekerasan Seksual yaitu merumuskan 9 bentuk kekerasan seksual (Pelecehan Seksual, Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, Perbudakan Seksual, dan Eksploitasi Seksual) dan akan di ringkas lagi, Indonesia bukanlah negara yang berbudaya barat yang dimana peraturan seksual kemungkinan besar sangatlah dibebaskan karena itu adalah urusan masing-masing warganya , tetapi Indonesia negara yang mayoritas islam perlu adanya Peneggakkan, mengatur,mengayomi,menangani, memulihkan korban agar dijauhi darinya kesesatan dan mengangkat martabat seorang perempuan,serta melindungi anak-anak khususya.
Pada Tahun 2020 ,adanya keputusan yang sudah menjadi perdebatan ramai di kalangan masyarakat yaitu adalah ditariknya RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020,Tetapi baru-baru ini RUU tersebut akan kembali dimasukkan pada tahun 2021 sesuai hasil rapat DPR RI Komisi VIII. Dikarenakan terhambatnya ini karena masih sulitnya diterima jika di impementasikan.
Nyatanya masalah kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Namun, RUU sampai saat ini masih ditunda pengesahannya. Seharusnya RUU ini segera di sahkan dan di evaluasi kepada masyarakat tetapi mengapa ini masih saja terhambat jelas-jelas sudah menjadi masalah dan perlu adanya solusi,sekaligus kejeraan bagi sang pelaku agar tidak adanya lagi yang sembarangan berani melakukan Tindakan tidak terpuji tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Perempuan) pun menanggapi tindak DPR RI yang menunda RUU PKS dari daftar Prolegnas 2020 (Mashabi, 2020) sangat tidak dipikir jelas-jelas RUU pada PKS ini sangat berdampak positif bagi menindak lanjuti kasus penghapusan kekerasan seksual.
Penarikan RUU PKS tersebut diklarifikasi Badan Legislasi (Baleg) karena adanya sejumlah pasal pemidanaan pada RUU PKS yang terkait dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih adanya menepatan-penepatan hukuman yang pantas dan perubahan di beberapa pasal agar tidak salah langkah perlu sangat kehati-hatian. Oleh karena itu juga sebelum undang-undang darurat dalam mengatur tindak kategori kriminal ini, diharuskan mengesahkan RKUHP dahulu sebelum mengesahkan RUU PKS. DPR RI memang sangat punya andil besar dalam hal penundaan pengesahan RUU tersebut.
Hingga saat ini pada tahun 2021 rancangan undang-undang PKS terkait penghapus kekerasan seksual ini masih menjadi pembahasan dan banyak isi yang dirubah dan dihapus.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengungkapkan bahwa sebanyak 85 pasal hilang dalam perubahan judul RUU PKS menjadi RUU TPKS. draf RUU PKS per September 2020 berjumlah 128 pasal. Kemudian, jumlah itu turun drastis di draf RUU TPKS per 30 Agustus 2021 menjadi 43 pasal. Masyarakat banyak perlu membaca literasi sebelum mengkritik, seringkali banyak yang beranggapan bahwa seperti seks bebas serta aborsi akan dilegalkan apa bila RUU PKS ini disahkan yang menjadi salah satunya juga terhambatnya pengesahan RUU Penghapus kekerasan Seksual . Ketika hanya menonton dan mendengar isu-isu mereka bisa berasumsi sebabas apapun tetapi,bagaimana jika konten itu tidak tepat?, Maka dari itu Masyarakat juga perlu pintar dalam mencari kebenaran dan tidak langsung menanggapi itu adalah hal yang benar.
Rosa Andini
(Mahasiswa Prodi Ilmu pemerintahan ,Universitas Islam 45,Bekasi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H