Lihat ke Halaman Asli

Gara-gara Tali Sepatu Berat Badan Turun 6 Kg

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tentu saja tidak ada hubungan langsung antara tali sepatu dengan turunnya berat badan. Tapi baiklah saya mengatakan tali sepatu sebagai pemicunya. Yang jelas berat badan saya turun dari 6 kg dalam kurun waktu 4 bulan. Ini tentu bukan penurunan yang drastis tentu saja. Akan tetapi apa yang terjadi di balik turunnya berat badan itu yang menarik untuk saya ceritakan di sini. Dalam kesempatan ini pun saya tidak mau berpromosi tentang cara saya ini.

Suatu hari di bulan Desember tahun lalu, pagi-pagi saya agak terburu mau berangkat kerja sekalian mengantar anak-anak sekolah. Tiba-tiba saya sadar bahwa saya mengalami kesulitan untuk mengikat tali sepatu karena terganjal perut saya yang mulai membuncit. Sungguh sulit bagi saya membungkukkan badan untuk menjangkau tali sepatu. Saya gemuk sekali ini. Tinggi badanku 172, berat badan 84 kg. Makan sedikit saja terasa sudah kenyang dan mengganjal. Tidak nyaman. Saya harus melakukan sesuatu. Itulah moment saya membuat keputusan: saya ingin memiliki tubuh yang sehat dan berat badan normal.

Bukan kali itu saja saya menyadari bahwa berat badan saya sudah melampaui batas normal. Bukan sekali atau dua kali saja saya mencoba banyak cara untuk menurunkan berat badan, mulai dengan minum teh produk tertentu yang katanya efektif menurunkan berat badan sampai usaha membakar lemak dengan olah raga. Semua berakhir dengan keluhan, “Aku nih makan dikit tapi kok tetap gemuk ya.”

Re-programing Otak : menjadi – melakukan – mempunyai

Pada waktu saya memutuskan untuk memiliki tubuh yang sehat dengan berat badan normal itu sebenarnya ada beberapa hal yang terjadi di dalam diri saya. Saya memutuskan untuk memprogram ulang bagian bawah sadar saya. Saya mulai dengan memasukkan program baru dalam otak saya, yaitu program pola makan. Saya akan makan atau memasukkan asupan makanan ke dalam tubuh saya secukupnya sesuai kebutuhan tubuh. Saya makan bukan pertama-tama untuk menghilangkan rasa lapar.

Saya jadi teringat apa yang dikatakan Robert T. Kiyosaki dalam bukunya Casflow Quadrant. Dia mengulas tentang “menjadi-melakukan- mempunyai.” Dalam keterangannya, dia mengatakan bahwa “mempunyai” adalah tujuan dari ketiga tahapan itu. Misalnya, saya ingin mempunyai tubuh yang sehat dan atletis, mempunyai pacar yang sempurna dan sebagainya. Biasanya orang akan menyusun daftar apa yang harus mereka “lakukan” untuk mencapai tujuan itu. Misalnya, untuk memiliki tubuh yang sempurna lalu orang melakukan berbagai macam diet, berolah raga di pusat kebugaran. Untuk mendapatkan pasangan yang sempurna, orang sibuk “mencari” di lingkungan kampus, Gereja, tempat kerja dan sebagainya. Kebanyakan berakhir dengan kebiasaan semula.

Bagaimana dengan “menjadi”? Dalam kasus saya, saya tidak lagi sekedar melakukan apa yang biasa dilakukan orang untuk menurunkan berat badan. Fokus saya ada pada saya harus menjadi pribadi macam apa atau siapa untuk bisa menjalani diet atau mengatur pola makan. Lalu saya mengubah cara berpikir saya, merubah atau memprogram ulang mekanisme bawah sadar saya. Saya menjadi orang yang mampu melakukan program pengendalian pola makan saya sendiri. Saya tidak memusatkan perhatian pada apa yang harus saya lakukan, tetapi pada pribadi macam apa yang harus saya bentuk.

Sehubungan dengan hal macam ini saya pernah membantu teman yang merasa sulit sekali menemukan orang yang cocok untuk menjadi pacarnya. Tiap kali melakukan pendekatan selalu berakhir dengan kesimpulan, ‘dia tidak cocok untukku’. Yang saya katakan kepadanya begini waktu itu, “Kalau kamu ingin medapatkan gadis impianmu, kamu harus merubah CARA BERPIKIR-mu, KOSA KATA-mu dan MENJADI pemuda impian gadis-gadis atau MENJADI PRIBADI yang tepat untuk gadis impianmu.

Tantum Quantum

Tantum quantum kalau diterjemahkan dalam bahasa Jawa artinya ‘sak madya’, ‘sak cukupe’. Bahasa Indonesianya, secukupnya, tidak kurang tidak lebih. Dalam proses ‘menjadi’ tadi, saya lalu mencari informasi tetang bagaimana melakukan diet yang sehat, tentang kebutuhan tubuh, tentang mekanisme asam lambung dan sebagainya. Dari informasi itu sampailah pada kesimpulan bahwa saya harus bisa mengetahui kebutuhan tubuh saya akan makanan yang saya perlukan untuk aktivitas hari itu dan seberapa banyak saya memasukkan makanan ke dalam tubuh saya. Kesimpulannya ada pada kata ‘secukupnya’. Bagaimana dengan rasa lapar?

Program umum bawah sadar manusia kalau merasa lapar adalah makan. Reprograming otak saya rupanya cukup berjalan. Kalau saya merasa lapar, saya tidak akan serta merta makan dan menghilangkan rasa lapar dengan memasukkan makanan ke dalam lambung saya sampai saya tidak lagi merasa lapar. Saya mulai dengan menu makan pagi secukupnya lengkap dengan nasi plus sayur ataulauk. Siang hari makan sayur dan atau buah secukupnya. Sore hari juga demikian. Kadang sekitar jam lima sore saya minum kopi ( asli ) agar malamnya tidak terlelap sebelum jam 12 malam. Artinya saya juga sedikit mengurangi tidur untuk aktivitas yang berguna tentunya. Saya mengurangi makan-makanan yang berlemak. Semuanya dengan tujuan agar tubuh saya tetap sehat dan ideal.

Rasa lapar tidak lagi mengendalikan saya untuk makan atau tidak makan. Pikiran saya yang sekarang mengendalikan apakah saya membutuhkan asupan makanan, seberapa banyak yang harus saya makan dan asupan macam apa yang kiranya sehat untuk saya makan. Pendek kata, saya memiliki kebebasan batin untuk memilih, bukan lagi dikendalikan oleh dorongan alami dari tubuh. Jadi kalau di sore hari muncul rasa lapar, saya akan tetap makan secukupnya. Artinya, untuk tidur malam hari kira-kira saya membutuhkan 150 kalori, maka saya tidak akan makan sepiring nasi goreng yang mengandung kurang lebih 700 kalori. Dengan bahasa spiritualitas bisa saya katakan begini: saya menerima rasa lapar dengan damai dan memenuhi kebutuhan tubuh saya secukupnya agar saya tetap sehat dan dapat beraktivitas dengan normal. Kalau sudah begini maka satu langkah lagi saya merasakan bahwa kebebasan batin itu sungguh indah.

Hasilnya? Sekarang saya bisa mengencangkan tali sepatu dengan enak dan mudah, kalau BAB bisa berjongkok dengan santai, badan terasa ringan dan segar. Berjalan agak jauh tidak ngos-ngosan, makan sedikit atau banyak tidak takut gemuk. Mengapa harus memakan waktu yang lama untuk turun berat badannya, sementara ada banyak tawaran obat yang bisa menurunkan berat badan dengan cepat dan ( aman )? Jawabnya : saya memang memilih bukan jalan pintas. Itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline