Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dikenal istilah Rukun Tetangga dan Rukun Warga atau disingkat RT dan RW, yang merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang berada di wilayah kelurahan atau desa.
Organisasi Rukun Tetangga dan Rukun Warga tidak disebut dan tidak termasuk dalam sistem pemerintahan, dan pembentukannya adalah melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh desa/Kelurahan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, pasal 1 disebutkan bahwa : Rukun Warga, untuk selanjutnya disingkat RW atau sebutan lainnya adalah bagian dari kerja lurah dan merupakan lembaga yang dibentuk melalui musyawarah pengurus RT di wilayah kerjanya yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa atau Lurah.
Rukun Tetangga, untuk selanjutnya disingkat RT atau sebutan lainnya adalah lembaga yang dibentuk melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan pemerintahan dan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa atau Lurah.
Sementara itu, dalam Permendagri 18 tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, pasal 7, disebutkan bahwa tugas RT dan RW adalah :
- membantu Kepala Desa dalam bidang pelayanan pemerintahan;
- membantu Kepala Desa dalam menyediakan data kependudukan dan perizinan; dan
- melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.
Dewasa ini banyak pemilihan Ketua RT dan RW di Indonesia yang mirip Pemilihan Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah yaitu dengan pemungutan suara. Bahkan tidak jarang kita lihat ketika memasuki masa pemilihan ketua RT/RW, tampak disana-sini gambar-gambar calon ketua RT/RW terpasang di tempat-tempat strategis. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki tim sukses agar memenangkan persaingan dalam ajang pemilihan tersebut.
Perubahan ini dapat kita lihat paling tidak pasca dimulainya sistem pemilihan langsung dalam tata pemerintahan pusat maupun daerah di Indonesia. Ditambah lagi sejak mulai adanya insentif atau honor untuk ketua RT/RW yang bersumber dari APBD, yang memang besarannya masih relatif. Sebagai contoh misalnya, di DKI jakarta, pada tahun 2004 insentif untuk RT hanya sebesar Rp 150.000/bulan dan RW Rp 200.000/bulan.
Namun pada tahun 2012 besarannya meningkat menjadi Rp 650.000/bulan untuk RT dan Rp 800.000/bulan untuk RW. Sedangkan di tahun 2021 akan ditingkatkan lagi menjadi Rp 1.500.000/bulan untuk RT dan Rp 2.000.000/bulan untuk RW.
Ketua RT dan RW memang bukan jabatan politis, tetapi ia merupakan jabatan sosial. Oleh karena itu aspek kepercayaan masyarakat menjadi hal yang paling utama sebagai penyebab adanya jabatan RT/RW "seumur hidup".
Bagi mereka yang menjabat sebagai ketua RT/RW dalam waktu lama, ini membuktikan bahwa masyarakat terlanjur percaya kepada mereka karena kinerja yang telah mereka lakukan selama ini. Biasanya mereka adalah orang yang "sudah selesai terhadap dirinya" sehingga tidak lagi membutuhkan banyak kebutuhan duniawi. Tidak terlintas dalam benak mereka selain mengabdikan diri dan waktunya untuk masyarakat.