Menjelang Lebaran atau hari raya Iedul Fitri tahun ini, Kita semua patut bersedih, karena melihat lebaran tahun ini yang diliputi Pandemi sehingga membuat gerak kita untuk bersilaturahmi menjadi terbatas dan dibatasi. Bagi mereka yang punya kampung, mereka tidak bisa mudik. Akibatnya sejumlah kota-kota besar seperti Jakarta, tetap memiliki jumlah penduduk yang banyak di lebaran kali ini. Namun begitu, jumlah penduduk yang tetap banyak akan berbanding terbalik dengan sepinya suasana lebaran, karena adanya pembatasan sosial akibat belum meredanya Pandemi Covid 19.
Sekilas ingatanku melayang ke tahun 90-an. Sebagai warga asli Jakarta yang tidak pernah mudik karena memang tidak punya kampung, hari pertama lebaran biasanya terasa sepi, karena yang ada hanya warga asli Jakarta saja (betawi) dan sebagian kecil mereka yang memilih mudik di beberapa hari setelah Iedul Fitri.
Saat itu saya masih ingat, bahwa kami mengisi hari raya Iedul Fitri dengan mengunjungi sanak keluarga yang lebih tua yang jaraknya tidak berjauhan. Saya dikenalkan oleh orang tua saya akan keluarga besar kami. Mulai dari kakek-nenek, paman-bibi, sepupu dan lain sebagainya. Waktu berkunjung tiap rumah cukup lama, bahkan tidak jarang pada setiap rumah kami disuguhi makan opor ayam atau semur daging dan ketupat. Belum lagi makanan khas lebaran lainnya seperti dodol Betawi, geplak, wajik, akar kelapa, tape uli, kembang goyang, dan lain sebagainya. Makanan lebaran yang saat ini sudah banyak berganti dengan biscuit atau wafer stick.
Saat itu suasana silaturahmi begitu kental terasa, karena diisi dengan obrolan santai, saling berbagi cerita selama Ramadhan dan suasana keakraban lainnya. Bagi saya waktu itu yang paling menyenangkan selain banyak makanan adalah uang lebaran yang selalu dibagikan penghuni rumah yang dikunjungi kepada anak-anak yang ikut dalam rombongan lebaran.
Setelah kami selesai mengunjungi sanak famili yang rumahnya relatif dekat dan hanya ditempuh dengan berjalan kaki, keesokan harinya kami mulai mengunjungi keluarga yang rumahnya relatif jauh. Biasanya kami menggunakan mobil pick up dengan bak terbuka yang diberi terpal untuk melindungi dari panas matahari. Walaupun tampak sederhana , tetapi ini merupakan suatu kegembiraan bagi saya yang waktu itu masih kanak-kanak.
Kedua orang tua saya pun tidak hanya mengenalkan kepada sanak saudara yang masih hidup, namun mereka juga mengenalkan kami kepada sanak saudara yang telah tiada dengan cara menziarahi makam mereka.
Gambaran berhari raya saat itu-yang sudah sekitar 30 tahun berlalu- tentunya akan sangat berbeda dengan saat ini. Dari sisi makanan, sudah banyak makanan lebaran saat itu yang sudah menghilang atau langka. Kalau dilihat dari sisi kunjungan lebaran saat ini lebih kearah formalitas dan terkesan terburu-buru atau sekedar basa-basi saja. Belum lagi bagi sebagian warga asli Jakarta sudah tidak lagi memiliki rumah atau lahan yang luas, sehingga akan mengalami kesulitan untuk menampung sanak famili yang banyak, dan ini merupakan suatu hal yang ironis.
Di tengah makin majunya kota Jakarta, namun berbanding terbalik dengan tingkat kemajuan ekonomi warga asli Jakarta. Faktor pendidikan bisa jadi menjadi salah satu variabel utama penyebab mundurnya tingkat ekonomi warga asli Jakarta dan tidak mampu bersaing dengan warga Jakarta lainnya yang datang dari seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia.
Lebaran kali ini tentu berbeda dengan tahun sebelumnya. Kali ini kita dipaksa keadaan untuk bersilaturahmi hanya dengan media daring. Kitapun harus puas diri menghindari kontak fisik dengan orang lain, dan tentunya tidak ada agenda mengunjungi tempat-tempat wisata, karena semuanya tutup karena adanya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kita semua rindu silatuhmi berjalan normal kembali, namun kita harus kuasa menahan itu semua, demi Pandemi segera berlalu. Jika tidak maka entah sampai kapan Pandemi akan terus menghantui....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H