Hai anak-anak!
Pendidikan karakter?
Religius, integritas, mandiri, nasionalis, gotong royong....
Bagi guru teriakan di atas sudah bukan jadi barang baru. Ketika masuk kelas, selepas memberi salam dan menanyakan kabar pada peserta didiknya langsung berteriak. Peserta didik pahan harus menjawab apa? Seperti yang tertulis di awal tulisan ini. Berdampakkah pada pergaulan dan kehidupan peserta didik?
Guru yang menanyakan ini harus bertanya dulu ke dalam hatinya masih masing-masing. Sudahkah religius, integritas, mandiri, nasionalis, gotong royong menjadi kebiasaan tingkah laku dan pergaulannya sehari-hari.
Saya rasa tak satu pun guru yang menyatakan tidak. Apa pun alasannya, bahkan ketika diambil sumpah pun tetap akan mengatakan bahwa 5 karakter yang dikembangkan pada pendidikan karakter ini telah dilaksanakan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, nyatanya 5 karakter tersebut hanya jadi hapalan peserta didik.
Kesalahannya ada di mana? Dosa pendidikan seperti disebutkan Ozy Valandika, Kompasianer Melinial yang gigih mengangkat issu pendidikan ini pengutip pernyataan Mendikbud.
"Buat saya ada tiga dosa. Dosa intoleransi, dosa kekerasan seksual, dan dosa bullying," ujar Nadiem di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/02/2020).
Bagaimana menebus dosa pendidikan di Indonesia? Langkah Nadiem Makarim dalam menebus dosa pendidikan di tanah air perlu diapresiasi oleh seluruh steakholder pendidikan di negeri ini. Tangan pertama adalah orang tua, berikut guru dan warga sekolah lainnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan dua kompetensi baru dalam sistem pembelajaran anak Indonesia. Dua kompetensi tambahan itu adalah Computational Thinking dan Compassion. (Cnbcindonesia.com, 18/02/2020)