Sembari menikmati kopi selepas magrib, saya iseng nyetel tivi dan melihat "running text" lewat disisi bawah layar tivi, bunyinya: "Said Agil mengatakan bahwa Gus Dur pernah menyampaikan, suatu waktu nanti Prabowo akan jadi presiden Indonesia". Saya tidak terlalu ingat seperti apa redaksional "running text"nya, tapi seperti itulah kira-kira intinya.
Pernyataan ini mengingatkan saya pada papa saya. Berdasarkan pengetahuan politik dan isu-siu strategis kenegaraan yang terbatas(maklum latar belakang profesinya sebenarnya guru walau sedikit dilimpahi rejeki menduduki jabatan struktural, didesa pula), saat saya pulang kampung, papa saya paling senang memancing-mancing topik politik agar mulut saya "nyerocos" tanpa rem lalu selanjutnya dia cuma menimpali dengan sedikit kata-kata pemantik, agar remnya tak bisa saya injek. Sekitar tahun 2008 sebelum pemilihan 2009 lalu, masa-masa awal Prabowo gencar memperkenalkan kembali dirinya pada rakyat Indonesia, papa saya memancing omongan begini: "gimana nih Ron...prospek politik Prabowo ke depan?". Tanpa banyak cerita, apalagi kopi dan rokok sudah pasrah di atas meja, obrolan itupun bermula. Dan saya memaparkan proyeksi dan Prospek Prabowo ke depan berdasarkan referensi-referensi publik yang saya punya, paling sering referensi dari pernyataan dan komentar Gus Dur tentang Prabowo. Papa saya sudah sangat mahfum dan paham belaka betapa saya begitu kagum dengan sosok Alm.Gus Dur, terutama soal pluralisme, demokrasi, dan ketuhanan, sehinga beliau cuma manggut-manggut, kadang menimpali dengan kata "oh gitu....ah yang benar....lalu....mengapa bisa begitu...dll".
Obrolan yang nyaris satu arah itu akhirnya berlabuh pada satu kesimpulan yang secara tak langsung juga diamini oleh papa, bahwa untuk 2009, menurut hemat saya, Prabowo belum bisa berbicara banyak, selain belum ada yang bisa mengalahkan popularitas SBY waktu itu, Partai Gerindra pun masih dalam masa "test drive perdana". Jadi tahun 2009 adalah masa awal Prabowo mencuri sebagian "vote share" melalui Gerindra dan batu loncatan awal pembangunan "personal brand" atau "brand awarness". Lalu saya tambahkan, masanya Prabowo yang paling potensial adalah setelah SBY tak punya pintu lagi untuk jadi president. Bahkan sampai Prabowo akhirnya ikut meramaikan pilpres dengan bersedia menjadi cawapres Megawati, saya masih "kekeuh" dengan pendirian saya bahwa 2009 belom menjadi momentumnya Prabowo, saat pertanyaan yang sama dilontarkan papa saya beberapa minggu menjelang pemilihan president 2009.
Pada tahun itu, mungkin Jokowi entah siapa dimata banyak manusia Indonesia. Tak ada yang menyangka bahwa kompetitor Prabowo saat ini adalah beliau. Bahkan dimasa awal Jokowi sebagai gubernur, saya belum juga memasukan beliau sebagai faktor yang akan mempersulit Prabowo untuk melenggang ke Istana, karena saat itu saya berfikir, Jokowi ke Jakarta tak lepas dari usaha maksimal Prabowo, jadi saya mempersepsi mereka ada disisi yang sama. Keyakinan ini bertambah kuat apabila melihat kesamaan posisi politik PDIP dan Gerinda di parlemen, yaitu sama-sama opposisi.
Tapi itulah politik, tak ada rumus pasti yang bisa kita jadikan patokan untuk menarik kesimpulan. Selalu ada faktor X yang tak terdeteksi dengan sempurna, sehingga selalu ada celah untuk kejutan-kejutan. Tapi okelah, kini mereka berdua diharuskan untuk berkompetisi. Namun demikian, saya masih tetap "kekeuh" bahwa ada sesuatu didalam diri Prabowo yang benar-benar dibutuhkan bangsa ini dan beliau akan menyerahkan "sesuatu" itu secara ikhlas dan tulus. Karena itu pula saya masih tetap "bersikeras" dengan apa yang pernah saya sampaikan kepada papa saya waktu itu, yakni soal "Jatah potensial Prabowo setelah Jatah SBY habis". Tentu saja keyakinan itu lahir jauh hari sebelum survey CNN atau survey peneliti Lowy Internasional yang mulai membeberkan pembalikan trend politik Prabowo menjadi sangat positif baru-baru ini.
Saya katakan ikhlas dan tulus, karena saya pandang memang demikian adanya. Bagi dia, kompetisi ini dilalui dengan perasaan "nothing too lose" saja alias tanpa beban. Dan ini jelas terlihat di acara "satu jam bersama Prabowo" yang ditayangkan di stasiun TV One beberapa hari lalu. Semestinya acara itu adalan momentum yang sangat berharga untuk "mendrive" penonton agar mencoblos nomor yang mewakili pencalonan beliau dengan bapak Hatta Radjasa, waktunya satu jam, tidak pendek, serta sudah pasti ditonton jutaan manusia yang ingin mengetahui lebih banyak tentang dia. Namun apa yang dia perlihatkan dengan kata-katanya, "jika rakyat menginginkan saya, maka rakyat akan mencoblos saya, jika rakyat tidak mengingkan, maka rakyat akan mencoblos calon yang lain, saya tidak ada masalah" (lagi-lagi soal redaksional mungkin agak berbeda sedikit dengan aslinya, karena saya agak lupa, maklum dah agak tua, tapi intinya sepert itu). Beliau tidak sedikitpun mendrive penonton dengan kata-kata provokatif semisal "makanya coblos nomor sekian....atau jangan lupa coblos nomor sekian", padahal ini masih dalam momen kampanye.
Saya membaca pernyataan itu adalah representasi ketulusan dan keikhlasan. Baginya, apapun yang dia perjuangkan selama ini adalah perjuangan murni tanpa embel-embel, yaitu semata-mata perjuangan untuk menawarkan ide-ide perbaikan, perjuangan agar diwaktu-waktu yang akan datang kita bisa melihat Indonesia jauh lebih baik. Jika rakyat tidak berkenan lalu memilih kandidat lain, maka tidak ada pula ketakutan dan penyesalan baginya. Atau jika rakyat ternyata memang menginginkanya, maka sudah selayaknya beliau menyambut dengan penuh tanggung jawab dan penuh semangat layaknya orasi-orasi menggelegarnya selama ini. Dan karena itulah, saya merasa ikhlas- ikhlas saja jika dia jadi Presiden Indonesia dan sangat ikhlas untuk percaya padanya, tanpa sedikitpun merasa dipaksa atau ditipu agar percaya padanya. #Itu Sajah#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H