Lihat ke Halaman Asli

Kapan Orang Jakarta Tahu Desa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani menunggu kendaraan penjemput setelah memanen kentang (Solanum tuberosum L) di tanah andosol (tanah vulkanis) di dataran tinggi Dieng di Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Minggu (14/4/2013). Kentang dipanen setelah berusia 3,5 bulan. Harga kentang kini mencapai Rp 5.000 per kilogramnya. (KOMPAS / AGUS SUSANTO)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Petani menunggu kendaraan penjemput setelah memanen kentang (Solanum tuberosum L) di tanah andosol (tanah vulkanis) di dataran tinggi Dieng di Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Minggu (14/4/2013). Kentang dipanen setelah berusia 3,5 bulan. Harga kentang kini mencapai Rp 5.000 per kilogramnya. (KOMPAS / AGUS SUSANTO)"][/caption] Meski undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 sudah ditetapkan dan menjadi acuan negara dan bangsa Indonesia dalam mendorong pertumbuhan desa, hanya sedikit orang di Jakarta yang paham apa sesungguhnya desa dalam undang-undang itu. Ciri "memandang rendah desa", masih saja melekat di mata, atau lensa penglihat orang-orang Jakarta yang punya kuasa, punya sumberdaya, punya media, dan punya segalanya. Desa dipandang tidak lebih dari kumpulan manusia yang di-stigma-kan Bung Karno sebagai "koeli van natie" dan "natie van koeli" (kuli diatara bangsa-bangsa dan bangsa yang terdiri dari para kuli). Desa dipandang bodoh. Kumuh. Tidak memiliki kehendak maju. Malas. Serta setumpuk dosa lainnya yang diserapahkan dengan sengaja atau tidak sengaja. Ikan Mati Digendong Kera Adalah Mas Sutoro Eko dari IRE Jogyakarta yang mengungkapkan istilah ini ketika harian Kompas menggelar diskusi tentang masa depan desa setahun silam. Ikan mati di gendong kera. Di sebuah hutan, kisah Mas Sutoro, hiduplah seekor kera di atas pohon besar. Setiap hari sang kera melihat ke arah seisi hutan, termasuk ke arah kolam dimana hidup seekor ikan. Hingga suatu hari, datanglah musim kemarau. Hutan menjadi tandus. Demikian juga air di kolam menjadi kering. Lalu sang kera melihat bahwa ikan di kolam menggelapar akibat semakin minimnya air. Tergerak oleh iba, kera turun dari pohon, mengambil sang ikan, lalu menggendongnya. Membawanya ke atas pohon. Pikir sang kera, tentu ikan akan selamat di musim kemarau jika berada dalam pelukannya. Akhir kisah itu tentu haru biru. Ikan mati dalam gendongan kera. Salahkah kera? Tidak. Justru kera bermaksud sangat baik. Sang kera memiliki moral yang luar biasa tinggi. Tetapi karena ketidaktahuannya, justru kebaikan yang dibagikan kera, mempercepat kematian sang ikan. Kisah ikan mati digendong kera, adalah kisah yang persis sama dengan cerita orang Jakarta menolong desa. Dihantui desakan moral kebaikan, keinginan yang tulus untuk memberikan bantuan, orang-orang di Jakarta mendesain bermacam program. Bahkan bukan cuma orang Jakarta. Orang di seberang lautan di Amerika, Australia, Cina, Jepang, dan entah dari mana lagi terpanggil untuk membantu orang desa (tentu dengan pikiran "kasian orang-orang bodoh ini akan mati karena ketinggalan zaman"). Dibantu para pemikir, birokrat, politisi, dan pemodal, kelompok "sang penolong" merancang bermacam program. Program pengentasan kemiskinan. Program pembangunan infrastruktur. Program sanitasi. Program kesehatan. Program pendidikan. Segalanya. Initinya, ini koperasi Lumoga = elo mau apa gue ada. Lalu program mulai dirancang. Dibicarakan di hotel-hotel mewah. Melibatkan tenaga ahli. Melibatkan pendamping super canggih. Menarik lengan pengusaha, lokal maupun manca negara, lalu ditetapkan sebagai program. Program diterjemahkan menjadi proyek. Proyek berkembang menjadi parasit. Lalu parasit menjalar tanpa bisa dihentikan. Berhasil? Sama sekali tidak. Semakin program dan proyek dilanjutkan, semakin ditemukan bahwa proyek hanya soal siapa dapat apa, kapan dan bagaimana. Semakin poryek dilanjutkan, semakin jelas siapa yang kini mengidentifikasikan dirinya sebagai tokoh penggagas, malaikat penyelamat, atau messiah. Ketika banyak orang di Jakarta hidup dalam kemewahan, desa semakin terpuruk. Semakin mati. Semakin tercabut dari akar-akar mereka. Persis seperti ikan mati dalam gendongan kera. Ironisnya, banyak orang Jakarta yang meng-klaim, mereka telah melakukan banyak hal untuk desa, sementara yang kita saksikan adalah, desa semakin terbelakang dalam budaya, tergantung dalam modal, dan terberdaya oleh proyek. Jiwa gotong royong diganti dengan logika uang dan proyek. Sikap tepa selira diganti dengan administrasi pemeriksaan keuangan. Musyawarah mufakat diganti dengan kompetisi. Keimanan diganti dengan hedonisme. Kekeluargaan diganti dengan kelompok kerja. Biarkan Desa Menentukan Identitas dan Masa Depannya Asas subsidiaritas, adalah satu dari asas penyelenggaraan desa dalam Undang-Undang 6 Tahun 2014. Melalui asas itu, Negara dan Bangsa Indonesia, memiliki mata yang lebih cerah dan lensa yang lebih bening dalam melihat desa. Subsidiaritas bermakna "biarkan orang menentukan masa depan mereka sendiri." Dalam bahasa yang lebih teknis: "biarkan desa menemukan siapa dirinya, mendefinisikan apa masalahnya, mengidentifikasi apa sumberdayanya, lalu menetukan bagaimana menyelesaikan masalah dengan sumber daya yang ada." Setelah terbitnya undang-undang ini, negara berkewajiban memberikan bantuan keuangan kepada desa sebesar hitungan yang tertera pada Pasal 72 undang-undang itu. Bagaimana negara memberikan uang itu? Tentunya saja negara memiliki otoritas regulasi, distribusi, dan sinkronisasi. Apapun alasannya, negara, diwajibkan memberikan bantuan keuangan kepada desa (bukan kepada kepala desa, BPD, dan perangkat desa, atau elit desa, tetapi kepada desa dalam arti keseluruhan). Dipergunakan untuk apa uang itu? Uang itu akan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Penghasilan perangkat desa dan kepala desa serta semua lembaga desa berasal dari uang itu. Demikian juga upaya untuk membangun desa. Masyarakat desa akan bermusyawarah dengan cara mereka sendiri. Menentukan prioritas mereka sendiri. Lalu membangun. Membangun dengan uang yang ada. Jika uang yang ada tidak mencukupi, maka wajib bagi masyarakat untuk menyumbang, mendanai, dan menyelesaikan kegiatan pembangunan dengan kemampuan mereka sendiri. Rakyat desa harus diingatkan kembali akan nilai dasar gotong royong dan kekeluargaan. Bahwa saling bekerja sama dan membantu menyelesaikan masalah bersama adalah ciri orang desa. Sebaliknya, mentalitas proyek, sikap pasrah, dan hedonisme adalah kutuk bagi orang desa. Menata Peran Setelah desa diberikan uang untuk membangun, maka yang utama disana adalah "desa membangun". Orang desa merancang sendiri pembangunan mereka. Kemudian melaksanakan sendiri pembangunan itu. Aktivitas "membangun desa" dimana orang kecamatan ikut memberikan bantuan, orang kabupaten mencarikan kegiatan, orang provinsi mencarikan uang, dan orang Jakarta membuat proyek sudah saatnya ditinggalkan. Bahwa aktivitas membangun desa masih ada, kita sepakat. Tetapi kehadirannya semata untuk membantu aktivitas desa membangun. Seluruh persoalan kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan ada di desa. Mengonsentrasikan sepersepuluh dari dana negara untuk desa bukanlah dosa. Sudah saatnya, kita membantu desa dalam koridor desa membangun. Biarkan desa menemukan diri, masalah dan upaya mengatasi masalah mereka sendiri. Peneropongan dari Jakarta, apalagi dari Washington, bisa jadi salah, dan jatuh dalam logika proyek. Mari menjadi Indonesia, dimulai dari desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline