Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang rekan yang bercerita tentang demonstrasi masyarakat kepada pemerintah kelurahan. Demonstrasi itu berawal dari kebijakan pemerintah kelurahan yang dipandang warga tidak tepat. Kebijakan apa? Kelurahan telah memberikan izin bagi pemeerintah kota (kota lain dari wilayah provinsi lain) untuk menggunakan lahan kelurahan sebagai tempat pembuangan sampah.
Warga marah karena kebijakan itu diambil tanpa mengajak mereka berbicara dalam forum musyawarah kelurahan. Kemarahan lain adalah, area itu secara teknis tidak memenuhi syarat tempat pembuangan sampah. Area itu terletak di tengah pemukiman warga. Tanpa wilayah penyangga. Tanpa hutan.
Demikianlah kisah masyarakat tetangga kelurahan. Tetapi kelak, jika masalah itu tidak selesai, kami para tetangga kelurahan akan juga terkena dampaknya. Bau sampah akan menyebar dan mengganggu kenyamanan. Apalagi sebentar lagi musim penghujan.
Problem penggunaan dan pemanfaatan lahan seperti hal di atas, dalam hubungan desa dan kota sama sekali bukan hal muudah untuk di atasi.
Beda Dasar Pijakan
Solusi bagi konflik penggunaan lahan antara desa dan kota secara konseptual dapat dipahami dari pemaknaan atas ruang dari masing-masing komunitas. H.R.Sunsun Saefulhakim (1997) melihat tata kelola lahan desa berhubungan dengan pengembangan dan penataan ruang fisik sumber daya alam (sumber alam) dan dimensi sosio-kultural. Pengertian ini mencakup identifikasi luasan, kualitas dan persebaran spasial dari sumber daya lahan dan struktur social masyarakat kawasan.
Sementara Joanaa.A.Powlowick dan Elzbieta Hanna Safranco (2017) memaknai pembangunan spasial kawasan perdesaan sebagai pengembangan ruang hidup di sekitar masyarakat desa. Pembangunan spasial lebih dimaknai sebagai pengembangan kawasan perdesaan guna memenuhi sifat alami masyarakat pedesaan.
Reddy Silvano Ngangi et al (2018) memaknai pembangunan spasial perkotaan sebagai upaya pengendalian urbanisasi dengan membangun kawasan perkotaan dengan hunian dan fasilitas yang ada di dalamnya. Pembangunan kota di masa kini tulis Ngangi et al, adalah menciptakan kota mandiri yang secara ekonomi dan social dapat memenuhi seluruh kebutuhannya.
Dari konsepsi di atas dapat dipahami bahwa pembangunan kota adalah pemanfaatan lahan secara ofensif sementara pembangunan kawasan perdesaan masih melihat aspek budaya dan sosial.
Apabila pembangunan kota mengambil area perdesaan yang ada disekitarnya dan menimbulkan konflik lahan maka pendekatan yang paling tepat dalam penyelesaian masalah itu adalah pendekatan irisan yang memperhatikan aspek tiap-tiap subjek. Kota yang mengambil wilayah desa selayaknya menyediakan ruang hidup bagi masyarakat desa sehingga masyarakat dapat tetap memiliki akses atas kota, jika memungkinkan, pembangunan kota di sekitar desa mampu menjaga sifat-sifat alami masyarakat semisal menjaga area pertanian dan persawahan serta area alam lainnya yang menjadi ruang hidup masyarakat desa.
Ketidakberdayaan Desa
Daya tarik kota sebagai pull urbanitation bermakna pembangunan kota senantiasa menjadi magnet bagi masyarakat yang menghuni wilayah di sekitar kota untuk datang dan hidup di kota. Alasan kemudahan transportasi, luasnya lapangan kerja, kebutuhan tenaga kerja kasar, akses atas pasar yang lebih luas, dan kehidupan social ekonomi yang gemerlap adalah hal-hal yang menjadi alasan orang pindah dan menetap di kota, bahkan untuk mereka yang hanya menjadi penghuni musiman sekalipun.
Reddy Silvano Ngangi et al (2018) menyebutkan bahwa pembangunan kota mandiri terbukti menjadi daya tarik oleh fakta bahwa kota senantiasa dilengkapi fasilitas ekonomi, pendidikan, social dan infrastruktur serta pemukiman yang jauh lebih layak dibanding wilayah perdesaan.