Tanya. Selidik. Bertian kini kah laki-laki? Menunduk. Merintih. Berkacak namun mengaduh. Muka pucat pasi pun sakit mencekik.
Cahaya bulan jatuh di atas muara. Bayangnya menari ditingkah gelombang air yang dibentuk oleh lompatan ikan kecil. Teduh dan damai malam di sini.
Teduh yang melupa pekik semangat para prajurit dan salakan senapan mesin. Damai yang menghapus perih tuna dan tangis putus asa mereka yang kalah dan tersisih.
Laki-laki bersorban yang dipanggil dengan sebutan Jenderal duduk bersama Guruh dan Suami Menik di tepi jalan setapak. Pandangan mereka mengarah ke depan. Memandang laut luas. Laut yang semula terhalang oleh jembatan penghubung.
Pertempuran hari ini, yang dimenangkan orang goa, telah menenggelamkan jembatan penghubung kedua kota.
"Kamu bertemu seseorang di Yakin?" suara berat laki-laki bersorban membuka percakapan.
"Iya. Seorang perempuan." Guruh menjawab sambil melemparkan sebuah batu kecil ke tengah muara. Saat tenggelam, gelombang air yang ditimbulkannya menjadi panggung tarian nur rembulan.
"Apakah tangan kanannya mengeluarkan cahaya?" tanya laki-laki bersorban.
"Aku tidak memperhatikan. Tetapi sepertinya tidak." Guruh setengah pasti.
"Jika tangannya tidak mengeluarkan cahaya, berarti dia mesin atau program computer."
Guruh dan Suami Menik memandang laki-laki bersorban.
"Aku datang dari sana. Dan aku tahu seperti apa kota yang kita sebut Babel. Itu kota Dystopia. Kota dimana manusia, pseudo manusia, mesin dan program computer hidup dalam satu dunia. Orang Babel menyebutnya matriks."