Lihat ke Halaman Asli

Meraih Eksistensi Kaum Tionghoa Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1424414252428515777

[caption id="attachment_398211" align="aligncenter" width="300" caption="selamat Imlek"][/caption]

Seleret cahaya baru menyambangi etnis Tionghoa saat Abdurrahman Wahid, yang ketika itu memduduki posisi puncak di negeri sebagai Presiden ke-5 RI, memperjuangkan kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia. Keturunan Tionghoa ditempatkan dalam posisi yang sama sebagaimana warga negara yang lain dalam posisi yang setara tanpa terkecuali.

Ketika itu, Gus Dur--begitu Abdurahman Wahid semasa hidup biasa disapa, menilai bahwa etnis Tionghoa memiliki peranan penting bagi Indonesia. Oleh karenanya dia mengingatkan bahwa warga Tionghoa juga memiliki andil dalam membantu perlawanan Indonesia terhadap kolonial Belanda, dengan cara menjadi pemasok persenjataan.

Gus Dur pun menerbitkan Inpres No. 14 tahun1967 yang kemudian dilanjutkan oleh Megawati dengan penetapan Imlek sebagai hari libur Nasional melalui Kepres No. 19 tahun 2002.  Di era Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat dua periode yakni 2004-2009 dan 2009-2014, satu langkah penting terkait pengakuan terhadap eksistensi warga keturunan Tionghoa juga dilakukan.

Ketika itu, Presiden SBY menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Nah melalui keppres itu, Presiden SBY mengganti istilah "China" dengan "Tionghoa".

Pertimbangan pencabutan tersebut, seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet, istilah "Tjina" sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera, yang pada pokoknya merupakan pengganti istilah "Tionghoa/Tiongkok" telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dari keturunan Tionghoa.

Dan dalam Keppres yang ditandatangani pada 14 Maret 2014 itu, Presiden SBY menilai, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang, kelompok, komunitas dan/atau ras tertentu pada dasarnya melanggar nilai atau prinsip perlindungan hak asasi manusia.

"Itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," demikian bunyi menimbang poin b pada keppres tersebut.

Dengan berlakunya Keppres 12/ 2014, semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan istilah orang dari atau komunitas "Tjina/China/Cina" diubah menjadi orang dan/atau komunitas "Tionghoa". Penyebutan "Republik Rakyat China" diubah menjadi "Republik Rakyat Tiongkok". “Keputusan Presiden berlaku mulai tanggal ditetapkan," demikian bunyi keppres tersebut.

MENGISI POSISI

Seiring terbukanya gerbang pengakuan atas keberadaan etnis Tionghoa di tanah air, maka kini bukan hanya terkait budaya dan agama mereka “merdeka”. Tapi, karpet merah pun dibentangkan untuk beragam sisi kehidupan WNI dari etnis Tionghoa tersebut, termasuk di dalamnya hak politik.

Tak heran di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau akrab disapa Jokowi, peran politik WNI etnis Tionghoa pun kian menguat. Bukan hanya tercatat sebagai “orang di balik keberhasilan Jokowi menduduki posisi puncak”, yang kala itu banyak menyebut nama Sofyan Wanandi dan James Riadi, tapi sejumlah warga negara keturunan etnis Tionghoa pun tanpa sungkan dideklarasi berada di lingkungan elite penguasa negeri.

Di antaranya, mencuat nama pengusaha properti Indonesia Jan Darmadi yang terlahir dengan nama Jauw Fok Joe. Pendiri Jakarta Setiabudi International pada 1975, pemilik di antaranya Hotel Mandarin Jakarta, Mercure Ancol, dan Setiabudi Building itu, sejak 19 Januari lalu dipilih Jokowi untuk menduduki jabatan prestisius di lingkungan kepresidenan yakni menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).

Sebelumnya, yakni pada November 2014, putra “keturunan Tionghoa” Basuki Tjahaja Purnama juga dilantik menjadi orang nomor 1  di Ibu Kota Negara, Provinsi DKI Jakarta. Pria yang dikenal luas oleh publik dengan nama Ahok dan memiliki nama Tionghoa Zhōng Wànxué itu lahir di Manggar, Belitung Timur, 48 tahun silam.

Pelantikan itu sekaligus menjadikan Ahok sebagai etnis Tionghoa pertama pertama yang mengemban jabatan tersebut. Ahok sendiri pernah tercatat sebagai politisi Partai Gerindra, sebelum kemudian pada 10 September lalu mengundurkan diri.

Semua itu bakal tertoreh dalam sejarah negeri dan semoga berbekal kebhinekaan yang utuh itulah, Nusantara benar-benar kian digdaya dan bisa diharapkan sebagai negara. Sebesar harapan warga etnis Tionghoa yang tengah bersiap menyambut Imlek yang jatuh pada 19 Februari mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline