Lihat ke Halaman Asli

Nasib Dosen PNS di Beberapa Zaman

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Piye le? Isih penak jaman ku tho” sempat menjadi ikon tentang bagaimana susahnya hidup pada saat ini. Sambil menunggu reaktor di laboratorium mencapai suhu yang telah di set, saya jadi terkenang perjalanan hidup di berbagai era presiden di Indonesia. Menjadi dosen di era pak Harto, bukan merupakan pilihan yang menjanjikan kecuali untuk sebagian orang yang memang terpanggil dan mempunyai minat yang besar untuk pada ilmu dan pengetahuan. Walaupun lulus dengan susah payah bahkan hampir DO tetapi menjadi PNS tidak pernah terlintas di pikiran. Tetapi setelah gagal 3 kali tes kesehatan di beberapa perusahaan swasta setelah beberapa rangkaian tes, membuat saya mencoba mendaftar beasiswa S2, dengan ikatan dinas di sebuah PTN di luar Jawa. Mungkin sudah suratan nasib atau memang do’a dari orang tua yang memang menginginkan saya melanjutkan pengabdian mereka sebagai guru, hanya dengan memasukkan berkas saya pun diterima sebagai karyasiswa dan memperoleh beasiswa.

Ada hal yang mungkin sulit terlupakan, salah satunya komentar dari calon istri : “Anak muda yang nggak punya semangat, mau-maunya menggadaikan hidupnya demi Rp 120rb perbulan”. Dengan naifnya saya berusaha membuktikan diri dengan belajar giat dan prestasi, hasilnya cukup bagus pada semester itu hanya ada 1 nilai B di mata kuliah yang diambil. Sebetulnya hasil itu membuat kepercayaan diri saya meningkat. Hingga pada suatu hari si dia datang dan mohon kerelaan saya untuk memutuskan hubungan dan ijin untuk menikah dengan pilihan hatinya.

Di era presiden Habibi tidak banyak yang bisa diceritakan karena pemerintahan hanya setahun dan saya masih berkutat dengan penelitian dan thesis. Di era Gus Dur, mungkin karena presidennya Kiai sehingga rezekinya juga barokah.  Pada suatu saat saya dijodohkan, dan dengan PD ala kadarnya saya melamar dia ditambah dengan kata-kata “ tetapi tahu kan kamu gaji PNS? Untuk hidup seorang diri di kota tempat PTN saya berada tidak cukup”.  Jawabannya sungguh membesarkan hati :” Mas, teman saya yang hanya lulusan SMA dan jadi buruh pabrik dengan 2 anak saja bisa hidup kok….”.  Seingat saya pertama kali datang mengajar gaji Rp 400 rb/bulan, istri pada saat itu belum lulus kuliah jadi masih tinggal dengan mertua. Masih beruntung waktu itu ada beberapa dosen muda, jadi bisa patungan mengontrak sebuah rumah dekat kampus. Masing-masing dapat 1 kamar dan bayar 100 rb/bulan, untuk catering makan 2 kali Rp. 180 rb/bulan dan telpon Rp 80 rb/bln iuran listrik dan lain-lain sekitar 40 rb sebulan.

Di era Megawati, keadaan mulai membaik bisa kredit rumah RSS type 36, ambil kredit di koperasi  beli motor bekas yang umurnya sudah  16 tahun dan yang jelas  kami sekeluarga bisa makan 3 kali sehari. Untuk memberikan gambaran keadaan perumahan saya waktu itu, pernah suatu saat dapat tugas ke luar kota dan pulang  dari bandara pakai taksi.  Sebetulnya jarak dari jalan besar ke perumahan sekitar 2,5 km tapi ya keadaan jalannya bekas jalan aspal. Komentar supir taksi yang mungkin jengkel dengan kondisi itu :” kok mau sih tinggal di perumahan seperti ini, saya dikasih pun tak mau..”.

Sekarang di akhir era SBY, yang banyak orang mengatakan presiden peragu, cengeng, negara auto pilot dan bahkan lebih kasar lagi sehingga menuliskannyapun tidak tega, keadaan kami sekeluarga sekarang di lima belas tahun yang lalu memimpikannya pun tidak berani. Itu diperoleh tanpa mengobyek ke luar kampus. Saya hanya fokus mengajar di Jurusan, tidak pernah mengajar di luar umpama ke luarpun dalam rangka riset atau pengabdian masyarakat. Perumahan yang dulu masih ada monyet, babi hutan dan biawak, kini sudah sangat berkembang. Jalan menuju perumahan sudah hot mix dan lebar, disepanjang jalan banyak ruko dan minimarket. Kalau ada perumahan baru di sekitar perumahan kami kelasnya sudah regency. Rumah saya kalau ada yang mau beli 10 x lipat harga beli yang dahulu pun tidak akan saya kasihkan.  Sekarang kalau ditanya apa pekerjaannya bisa dengan PD saya menjawab Dosen PNS. Di Jurusan tempat saya bekerjapun kemajuannya luar biasa, pertama kali datang izin resmi dari DIKTI baru diperoleh, sekarang sudah bisa buka S2. Kalau dulu datang tiap hari, berangkat jam 9 pulang jam 1 siangpun sudah menjadi dosen yang rajin, sekarang jam 6 sore pun masih banyak dosen yang masih di kantor.

Saya setuju dengan pendapat alm. Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, bahwa salah satu kesalahan pemerintah Indonesia sejak orde lama adalah rendahnya gaji guru dan dosen. Dengan demikian minat untuk menjadi guru dan dosen rendah sehingga mungkin banyak orang menjadi dosen atau guru hanya karena tidak ada pilihan lain seperti saya. Dengan SDM yang seadanya dapat dikatakan kualitas guru dan dosen di Indonesia rata-rata memprihatinkan, bagaimana mungkin mengharapkan pendidikan di Indonesia berkualitas tinggi. Saya bersyukur bahwa pemerintah saat ini mulai memperhatikan kesejahteraan guru dan dosen serta meningkatan kualitas mereka. Walaupun saya sadar dengan SDM yang pas-pasan  tidak banyak yang bisa dilakukan. Paling tidak saat ini profesi guru dan dosen mulai dihargai dan semoga bisa menarik minat putra-putri terbaik Indonesia untuk berkarir di bidang pendidikan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline