Seperti dikutip dari http://webmuda.wordpress.com/ Postingan ini dibuat untuk mengikuti Kompetisi Web Kompas MuDA & AQUA sekaligus mengingatkan kita fakta-fakta mengerikan yang terjadi di sekitar kita tanpa kita sadari.
"Air Minum Surabaya Campur 5 Ton Tinja"
Saya sangat terperanjat saat membaca headline berita yang tercetak besar di halaman depan Harian Surya edisi Jumat, 21 Januari 2011 lalu tersebut. Berita itu cukup mengusik saya, karena meskipun tidak lagi tinggal di Surabaya (rumah saya masuk wilayah kabupaten Gresik, tapi masih berada di pinggiran Surabaya), saya masih merasa arek Suroboyo. Kalaupun katakanlah saya tidak membawa-bawa keareksurabayaan saya, berita tersebut tetaplah sebuah fakta mengerikan yang tak bisa diabaikan oleh siapapun. Pencemaran itu sendiri disebabkan oleh banyaknya WC tipe 'helikopter' (kotoran langsung hanyut di air) yang tersebar di sepanjang Kali Surabaya dan anak sungainya. Tercatat 700 WC model tersebut 'menghiasi' pinggiran sungai yang memasok 96 persen bahan baku air PDAM itu. Hal ini dapat menimbulkan tingginya tingkat pencemaran bakteri E-Coli yang tentunya membahayakan kesehatan. Tidak berhenti di situ saja, pencemaran juga diperparah dengan dibuangnya limbah cair dari 368 industri yang dapat mencapai 75,48 ton per harinya ke Kali Surabaya. Siapa yang Harus Bertanggung Jawab? Dipaparkan dalam berita yang dimuat oleh Harian Surya tersebut, Ecoton, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah yang menjadi salah satu pelopor Gerakan Kali Surabaya Bukan WC Umum pada hari Kamis lalu (20/1), mendesak Pemprov Jatim untuk membuat kebijakan dalam mengendalikan dan menyediakan sarana sanitasi, serta memprioritaskan masalah pengelolaan sungai dan air bersih pada tahun 2011 ini, demi mewujudkan Kali Surabaya bebas tinja. Permintaan ini sesuai dengan Pasal 43 Peraturan Pemerintah (PP) 82/2001 yang memberikan mandat kepada pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota agar melakukan upaya pengelolaan dan atau pembinaan pengelolaan air limbah rumah tangga. Namun, apakah tanggung jawab itu hanya dibebankan kepada pemerintah? Tidak bisa. Kita sebagai warga masyarakat pun perlu menaruh kepedulian yang besar dan turut andil dalam upaya pemulihan lingkungan yang telah tercemar ini. Apalagi, sebagian besar diantara kita merupakan konsumen air PDAM tersebut. Kendati toh Pak Selim, Direktur Utama PDAM Surabaya, telah menegaskan bahwa air yang sudah diolah PDAM itu masih layak minum (setelah direbus hingga mendidih tentunya), kita tidak bisa lantas berleha-leha begitu saja. Mau sampai kapan kita biarkan hal ini terjadi? Bila tidak segera kita mulai langkah-langkah kepedulian tersebut, bukan tidak mungkin anak & cucu kitalah yang akan menanggung akibatnya. Mungkin saja dalam beberapa tahun ke depan akses terhadap air bersih, kebutuhan utama manusia di seluruh dunia, akan semakin sulit karena pencemaran yang merajalela. Inikah yang Anda inginkan? Tentu saja tidak. Jadi, mulailah dari sekarang. Mari, kalau misalnya Anda adalah salah satu pemakai WC helikopter, mulailah beralih ke sistem sanitasi yang lebih ramah lingkungan. Dan Anda tidak perlu menunggu pemerintah untuk melakukannya. Ayo ajak orang-orang di lingkungan sekitar Anda untuk menyisihkan sebagian dana dan membangun sebuah sarana sanitasi umum yang baik. Beratkah? Mungkin, tapi kalau tidak begitu, anak dan cucu kitalah yang akan jauh lebih sengsara. Dan ingat, ini bukan hanya bagi warga Surabaya saja. Anda yang ada di Jakarta, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Medan, dimanapun itu, jangan diam saja. Mari kita semua selamatkan air demi masa depan yang lebih baik! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H