Konten toxic mudah ditemukan dan diakses via medsos. Bermodalkan kuota maka dalam sekejap seseorang bisa mengunggak konten berbau hoaks, mengakses situs judi, pornografi dan sebagainya. Pelajar sangat mudah terkontaminasi dengan berbagai konten toxic seperti ini. Blokir di satu sisi bisa menahan nafsu seseorang mencari konten toxic. Tapi itu tidak cukup.
Pendidikan karakter sejak dini sangat penting sehingga seseorang tidak akan gampang terjerumus atau tergoda untuk mengonsumsi konten negatif. Ketika seseorang memiliki hati yang teguh pada prinsipnya ditambah dengan komunitas yang mendukung maka ini menjadi benteng yang kuat melawan segala konten racun yang bisa menyasar siapapun.
Pastinya kesadaran dan pemahaman nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika di ruang digital akan sangat membantu masyarakat untuk membuat filter sendiri menghadapi masifnya konten toxic di dunia maya.
Relawan Edukasi Anti Hoaks Indonesia Sri Sumarni pernah menyatkakan bahwa tingginya aktivitas publik di media sosial membuat paparan konten negatif semakin masif. Konten negatif itu mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan.
"Beberapa ciri konten negatif adalah bernada provokatif, minta diviralkan, dan tidak memiliki sumber referensi yang jelas. Agar tidak terjebak, harus dilakukan verifikasi informasi pada sumber yang valid. Ingat, jangan mudah menyebarkan informasi tanpa diketahui kebenarannya," kata Sri Sumarni dalam seuatu kesempatan webinar yang dikadakan Siberkreasi di awal Agustus lalu.
Di sisi lain Dosen Universitas Negeri Jakarta Nugrahaeni Prananingrum mengatakan, arus informasi dapat mempengaruhi pola pikir seseorang. Salah satu tantangan masyarakat adalah bagaimana ia mencerna informasi yang masuk. Kemampuan itu akan membentuk karakter seseorang.
Setuju, apa yang dikonsumsi lewat mata dan ke hati jelas akan memengaruhi cara berpikir, merespon dan membuat keputusan. Intinya semua aspek dalam diri seseorang itu akan dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsinya lewat gadget.