Kemendikbudristek dan Kominfo sepatutnya melakukan ‘jewer’ digital kepada penyelenggara sekolah di negeri ini. Faktanya kekerasan pada anak di sekolah, ternyata masih terus terjadi dan bahkan sekelas pejabat dinas pun malah melakukan pembenaran untuk konten kekerasan yang dilakukan pelajar (kejadiannya di Makassar di awal tahun ini).
Dirilis oleh media Kompas bahwa ada 3 provinsi yang memerlukan perhatian yang sangat serius karena terekam adanya tingkat kekerasan anak tertinggi di Indonesia. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) membeberkan provinsi dengan jumlah korban kekerasan tertinggi di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hm, ini provinsi dengan penduduk terbanyak dan kemajuan pendidikan seharusnya diimbangi dengan peningkatan karakter atau budi pekerti. Sayangnya tidak demikin.
Penulis mengutip data sebagai berikut yakni untuk di satuan pendidikan, berdasarkan data Simfoni PPA di tahun 2021, mencatat ada 594 kasus pelaporan kekerasan terhadap anak. Kekerasan itu terjadi di sekolah dengan jumlah korban sebanyak 717 anak, terdiri dari anak laki-laki 334 dan anak perempuan 383.
Di satu sisi dengan zaman yang makin transparan membuat kasus kekerasan itu bisa dengan mudah terekspos di media. Tapi di sisi lain, atas nama pencitraan dan upaya untuk menutupi kasus kekerasan atau korban malah mengalami ancaman membuat kasus itu menjadi tertutupi.
Memang katanya ada penurunan kasus berdasarkan survei di tahun 2021 menurut Prima Dea Pangestu, perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak . Tapi tetap saja membuat prihatin karena survei mencatat bahwa 3 dari 10 anak laki-laki dan 4 dari 10 anak perempuan di Indonesia usia 13-17 tahun pernah mengalami satu atau lebih jenis kekerasan sepanjang hidupnya.
Ini berarti sekolah atau lingkungan tempat dia eksis itu kan sekolah. Malah mereka harus menghadapi kekerasan baik secara emosional atau kekerasan psikis. Bahkan tidak usah terkejut, tindak kekerasan itu, 34,74 persen dilakukan oleh guru dan 27,39 persen dilakukan oleh teman atau pacar.
Kekerasan itu jangan hanya dianggap dalam bentuk fisik dengan pukulan, cubitan atau jeweran semata. Banyak bentuk-bentuk kekerasan lain yang berdampak menimbulkan penderitaan terhadap anak. Tindakan perundungan secara verbal atau online itu tak kalah kejamnya. Luka fisik bisa hilang tapi kalau sudah luka hati itu nggak ada obatnya atau susah untuk ‘healing’ atau pemulihannya.
Penulis terkejut karena pelaku terbesarnya justru para pendidik atau guru. Menyedihkan so pasti. Guru atau pendidik bukan menjadi pengayom atau pelindung tapi malah menjadi pelaku perundungan. JIka guru atau pendidik itu tidak ditindak atau hanya diberikan sanksi yang ringan maka perilaku serupa akan terus terulang menjadi lingkaran setan.
Para murid yang menjadi korban bisa kena mental dan ada efek bandul yaitu di satu sisi dia depresi atau tertekan. Di sisi lain ekstrimnya adalah dia akan membalas dendam di masyarakat. Dengan menjadi korban, kebencian dan amarah itu bisa meledak dan kalau tak tertahankan maka akan berujung pada tabiat yang malah destruktif bagi dirinya dan bagi keluarga serta masyarakat.
Di tambah lagi kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual malah menjadi jenis kekerasan terbanyak yang terjadi di sekolah yaitu mencapai 36,39 persen. Inilah dosa yang tak bisa ditolerir termasuk dosa-dosa kekerasan lainnya.
Karena itu sangat penting perlindungan kepada anak sejak dini disadar dan ditanamkan oleh para pendidik di sekolah. Para guru atau pendidik harusnya memahami anak secara utuh dan menunjukkan simpati dan empati.