Sebuah pengalaman yang tak pernah akan aku lupakan terjadi pada 19 Oktober 2011 lalu. Ketika harus menemani Tim Explore Indonesia, salah satu acara di Kompas TV melakukan pengambilan gambar di Kabupaten Kepulauan Sitaro. Sitaro, merupakan singkatan dari tiga pulau besar dari 47 pulau yang ada di kabupaten yang masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara. Dulunya kabupaten ini merupakan satu kesatuan dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Tetapi sejak 4 tahun lalu, menjadi kabupaten sendiri. Daerah ini menyimpan potensi perikanan dan kelautan yang melimpah. Pulau-pulaunya juga menyimpan potensi wisata yang sangat indah. Bahkan beberapa diantaranya bisa menjadi kandidat destinasi wisata bahari utama, jika dikelola dengan baik. Tidak salah, jika Kompas TV lewat acara Explore Indonesia, memasukkan segmen Sitaro pada salah satu episodenya di Sulawesi Utara. Mereka memilih Sitaro setelah membaca tulisan-tulisan saya mengenai potensi wisata daerah itu di http://sitaro.wordpress.com/category/sitaro/ Lalu saya pun memasukkan Pulau Makalehi, sebagai salah satu objek yang harus diambil. Disana ada Misteri Tengkorak Tembo Yonding, Danau Makalehi yang indah serta Patok dan Monumen Tapal Batas NKRI. Ya, karena Pulau Makalehi merupakan salah satu dari 99 pulau terluar NKRI. (Mengenai Pulau Makalehi akan saya tuliskan pada kesempatan lain, juga misteri tengkorak yang tidak berhasil difoto oleh Kamga) Kami bertolak dari Manado hari selasa, 18 Oktober 2011. Dan langsung mengambil gambar di Pantai Panas Lehi yang sensional. Dan pada keesokan harinya kami ke Pulau Makalehi. Nyaris Tenggelam Saya merencanakan menyeberang ke Pulau Makalehi pada pukul 5 subuh. Dengan pertimbangan, lautan masih tenang dan bisa bertemu sunrise di tengah laut. Ini merupakan kali keempat kunjungan saya ke pulau itu. Dinas Pariwisata Sitaro menyanggupi menyediakan kami speed boat yang layak.
Tetapi ketika pagi menjemput, tersirat kabar, speedboat yang disediakan batal menyeberangkan kami, karena drivernya sedang berada di Tagulandang. Kami sempat merubah rencana untuk ke Pulau Mahoro dulu. Tepat disaat perahu ke Pulau Mahoro sudah disiapkan, Dinas Pariwisata Sitaro mengabarkan bahwa perahu pengganti sudah siap. Dan bertolaklah kami dari Kota Ulu menuju Pelabuhan Pehe. Tiba di Pehe, saya sedikit terkejut melihat perahu pengganti yang disediakan. Lumayan kecil, untuk membawa kami 10 orang. (3 tim Kompas TV, 1 Host, 1 dari NSTB, 3 staff Dinas Pariwisata, Saya dan Joki perahu). Pengalaman saya tiga kali ke Pulau Makalehi, gelombangnya lumayan besar. Tetapi, joki perahu meyakinkan kami, karena cuaca cerah dan lautan kelihatan tenang. Lalu tim pun bersiap. Produsernya, Anjas Prawioko menyempatkan mensetting pengambilan gambar ketika Hostnya, Kamga yang juga merupakan vokalis Group Band Tangga itu naik ke perahu. Perahu bertolak pada pukul 10 pagi, dengan posisi duduk penumpang yang sangat tidak nyaman. Saya memutuskan mengambil tempat paling belakang, tepat berada di depan Joki. Nyaris tidak bisa bergerak karena perahu sangat sempit. Sayapun meminta teman-teman mengenakan pakaian pelampung keselamatan. Kamga, terutama. Keluar dari Pehe, cuaca sangat cerah. Lautan tenang, walau perahu beroleng, maklum perahu kecil. Perahu dengan tenaga mesin tempel 40 PK ditambah satu mesin jenis katinting itu melaju. Kami menuju Makalehi. Tim Kompas TV masih menyempatkan mengambil gambar dengan latar Gunung Api Karangetang yang terlihat angkuh. Lima belas menit perjalanan, tiba-tiba hujan turun. Kami kelabakan membungkus peralatan yang bernilai ratusan juta yang dibawa. Saya menghentikan juga aktivitas memotret yang tidak henti semenjak dari Pehe. Pandangan saya teralihkan ke arah kiri. Awan tebal pekat menggantung di atas Pulau Tagulandang. Angin mulai terasa bertiup, dan di kejauhan saya melihat laut perlahan mulai memutih, pertanda tidak baik untuk ukuran perahu kecil dengan 10 penumpangnya. Saya sempat menanyakan ke Joki perahu yang tepat berada di belakang saya. Ia menyanggupi. Dan benar saja dugaan saya, tigapuluh menit setelah lepas dari Pehe, gelombangpun makin membesar. Perahu kami mulai dihempas ombak yang datang tidak beraturan, akibat angin yang tiba-tiba bertiup. Terlihat kegugupan di wajah beberapa teman dari Kompas TV. Saya melirik, Katrin wakil dari North Sulawesi Tourism Board tak hentinya melafalkan doa. Perahu kami semakin berguncang dan semakin ke tengah. Pulau Makalehi yang dituju kini tak terlihat. Tertutup hujan lebat. Saya mengencangkan pakaian pelampung yang saya kenakan, lalu berharap cemas dan hanya bisa menaruh kepercayaan pada keahlian sang Joki mengendalikan perahu yang semakin dihempas ombak. Kami tidak bisa berbalik. Cukup berbahaya memutar haluan perahu, bisa-bisa terbalik dihantam ombak. Tidak ada jalan, harus meneruskan tujuan. Ombak semakin menggila untuk ukuran perahu yang kecil itu. Lalu tiba-tiba saja sebuah olengan besar menghajar perahu kami. Tepian perahu sebelah kanan sudah berada dibawah air. Seperti di komando, semua berteriak. Air masuk ke perahu. Saya mencoba tenang dan meyakinkan teman-teman untuk tidak panik dan banyak bergerak. Joki perahu bisa mengendalikan situasi. Saya mengambil inisiatif menimbah air yang masuk ke perahu. Dalam kondisi yang sangat sempit, saya berusaha menyeimbangkan badan sambil mengeluarkan air. Kamga bersama produsernya, berada di bagian depan. Saya tidak melihat persis wajahnya. Tapi saya tahu, ada kekhawatiran didirinya. Dan itu yang membuat saya sedikit takut. Takut, karena membawa mereka sebagai tamu di Sitaro dalam kondisi yang tak terduga ini. Saya meneruskan pekerjaan saya menguras air dari dalam perahu. Lalu tiba-tiba sebuah hantaman dari arah kanan datang lagi. Kali ini lebih besar. Camera dan handphone saya tersiram air. Perahu nyaris masuk ke air. Beruntung sang Joki secepatnya mengendurkan laju perahu dan menyeimbangkannya. Hidham Wildani, salah satu cameramannya berteriak sekuatnya. Katrin, sampai harus memelas, “kapan tibanya?” Semakin dekat Makalehi, ombak semakin besar. Kami sudah lebih dari 60 menit di tengah lautan. Semestinya sudah tiba. Saya yang sudah tiga kali ke Makalehi, meminta Joki untuk mengambil jalur kanan pulau itu. Tetapi, mungkin dia punya pertimbangan lain. Haluan perahu diarahkan ke sebelah kiri, yang ombaknya lebih besar. Alhasil, perahu kami diombang-ambingkan terus.
Setelah hampir 90 menit, akhirnya Pulau Makalehi itu nampak dekat. Tetapi ombaknya semakin besar. Perahu semakin oleng, dan penumpang semakin ketakutan. Melihat kondisi ini, tanpa diperintah saya mengambil inisiatif mematikan salah satu mesin katintingnya. Pertimbangan saya, jika perahu terlalu laju, bisa berbahaya jika dihempaskan ombak.
Benar saja, tidak sampai tiga menit, kami dihempas ombak yang lebih besar. Kali ini tidak tanggung-tanggung, dua kali kekanan dua kali kekiri berurutan. Pada situasi itu, saya pikir kami sudah tenggelam. Perahu sudah berada dibawah puncak ombak. Saya telah pasrah. Tapi puji syukur, perahu kami masih terhindar dari kecelakaan. Andai saya tidak mematikan salah satu mesinnya, ceritanya akan jadi lain. Dan dengan penuh perjuangan, akhirnya perahu kami merapat di Pantai Makalehi setelah hampir 2 jam menguji adrenalin. “Saya telah hampir keliling Indonesia melakukan perjalanan, tapi ini merupakan pengalaman terekstrem yang saya alami,” ujar Hidham ketika sudah berada di darat. Ketenangan Kamga Tetapi saya mengacungkan jempol buat host Explore Indonesia, Kamga. Ketenangannya melewati lautan tadi, membuat saya kagum pada sosok vokalis group band Tangga ini. “Yang penting jatuhnya masih di air,” begitu dia berkelakar. “Berteriak pun tidak bisa membantu. Jadi lebih baik duduk tenang dan berdoa serta berharap Joki bisa mengendalikan perahu,” katanya lagi. Ya, ketenangan itu dibutuhkan pada situasi seperti itu. Sebab jika kita panik, akan membuat perahu sulit dikendalikan.
Tiba di Pulau Makalehi pukul 12 siang. Setelah istirahat makan sejenak di pantai, kami melanjutkan mengexplore pulau eksotis itu seharian. Rencana kami mau balik ke Pulau Siau pada pukul 4 sore. Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata Sitaro, Jihmmy Derry mengantisipasinya dengan menambah satu perahu lagi, agar muatan bisa terbagi.
Tetapi ketika sore tiba, Joki perahu tidak mau mengambil resiko balik ke Pulau Siau. Angin dan ombak sudah makin besar. Kamipun memutuskan menginap di Pulau Makalehi. Beristirahat di rumah Kepala Desa, bapak Kalebos. Sekali lagi, saya salut buat Kamga. Sang artis itu bisa dengan santainya menikmati kondisi apa adanya di Pulau Makalehi. Bahkan dia bergabung bersama kami yang tidur-tiduran di teras rumah hanya beralaskan tikar, karena tidak tersedianya kamar. Kami pun beristirahat apa adanya, sambil menunggu subuh untuk balik ke Pulau Siau. Menjelang tengah malam, tiba-tiba saya dibangunkan. Kami harus bertolak balik ke Siau. Ganti perahu. Kali ini perahu besar milik Kepala Desa, bisa muat 50 orang. Kami hanya sepuluh orang. Lalu pukul 12 malam kamipun bertolak balik ke Pulau Siau. Kalau waktu tadi pagi kami nyaris tenggelam, kali ini ombaknya lebih besar. Kami dihempas bagai ayunan. Dibanting kiri kanan. Anggota tim memilih tidur di palka. Saya memilih duduk menikmati perjalanan terang bulan dengan ombak yang ganas sambil berjaga. Pengalaman yang memacu adrenalin. Sungguh. Tapi karena perahunya lumayan besar, bisa sedikit lebih aman, walau guncangan lebih hebat. Pukul 1.30 subuh kami merapat kembali di Pehe. Berkemas ke Hotel Jakarta, di Kota Ulu untuk besoknya menuju Pulau Mahoro juga dengan “permainan ombak yang cantik.” Sungguh petualangan di Sitaro yang tak pernah akan terlupakan. Sitaro is amazing place.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H