Lihat ke Halaman Asli

Perencanaan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan Lokal

Diperbarui: 4 April 2017   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liny Tambayong

Oleh: Liny Tambajong. (Kepala Bidang Perencanaan Wilayah Bappeda Provinsi Sulawesi Utara) Apa yg tidak ada di Bumi Nyiur Melambai?,  secara komparatif (comparative advantage) kita unggul karena memiliki sumber daya alam melimpah. Di daratan, kita punya komoditas unggulan Kelapa, cengkeh, pala, hortikultura. Di laut kita punya perikanan tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut. Kekuatan kita di darat dan laut adalah suatu potensi unggulan yang belum tergarap secara maksimal (belum kompetitif) dengan kata lain masih di jual dalam bentuk primer product seperti kopra, biji dan fulli pala, ikan beku dan rumput laut kering. Pengolahan lebih lanjut sebagai intermediate dan final product masih dilakukan di daerah lain bahkan di Negara lain. Sehingga nilai tambah terbesar dari komoditas unggulan kita, bukan dinikmati oleh masyarakat Sulawesi Utara. Dengan kata lain petani di daerah sentra-sentra agribisnis hanya menikmati nilai tambah dari subsistem on farm agribisnis yang umumnya relatif kecil. Nilai tambah yang paling besar, yakni pada subsistem agribisnis hulu dan hilir, dinikmati oleh para pedagang atau pengusaha luar daerah. Inilah yang menyebabkan mengapa pendapatan petani tetap rendah dan ekonomi daerah sentra-sentra agribisnis kurang berkembang.

IMG_1314

Agar pembangunan ekonomi daerah dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat, maka sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah haruslah sektor ekonomi yang dapat mendayagunakan sumber daya lokal (foot lose industry) yang terdapat atau dikuasai oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Akibat food chain yang panjang menyebabkan produk olahan komoditas unggulan kita setelah masuk kembali dalam bentuk olahan menjadi lebih mahal dan disisi lain terjadi pemborosan energy. Pemborosan energi bagi ekspor produk kelapa dan turunannya yang setengah jadi dan kembali lagi masuk Indonesia sebagai produk siap pakai dengan harga yang mahal merupakan suatu contoh kasus pemborosan energi penggunaan bahan bakar fosil pada sistem transportasi pangan yang sangat panjang (food miles). Semakin panjang food miles berakibat semakin berjaraknya konsumen dari kegiatan budidaya pertanian dan pengolahan pangan. Isu eco-efisiensi dan efisiensi energi menjadi tantangan dalam mengelola dan menggunakan sumberdaya alam sebagai bahan baku industri di masa datang. Untuk dapat bersaing secara global, setiap daerah perlu merumuskan visi dan misinya sebagai pola sasar perkembangan wilayah yang ada di dalamnya. Perumusan visi dan misi spesifik, unik, tepat dan akurat akan mendorong suatu wilayah meraih keunggulan daya saing yang berkelanjutan (suistanable competitive advantage), berorientasi pada komoditas setempat, pemilihan strategi pertimbangan ekonomi dilengkapi dengan pertimbangan ekologi dan sosialbudaya yang dimilki oleh masyarakat setempat. Secara comparative advantage, maka pengembangan wilayah Sulawesi Utara harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan unggul dibanding wilayah lain yang dapat mendorong pertumbuhan wilayah dan menggerakan ekonomi masyarakat setempat. Dengan konsep pengembangan kawasan berdasarkan komoditas unggulan, maka sejak 2003 sampai saat ini Sulawesi Utara sudah memiliki 7 Kawasan Agropolitan dan 3 Kawasan Minapolitan.

  • Agropolitan Modoinding dengan komoditas unggulan hortikultura;
  • Agropolitan Pakakaan (peternakan);
  • Agropolitan Tomohon (florikultura);
  • Agropolitan Dagho (perikanan tangkap);
  • Agropolitan Klabat (perikanan air tawar);
  • Agropolitan Ngaasan (perkebunan kelapa);
  • Agropolitan Dumoga (padi);
  • Minapolitan Tatapaan; Minapolitan Managabata dan Minapolitan Tabukan Selatan dengan komoditas unggulan perikanan tangkap dan budidaya.

Namun sampai sejauh ini belum mampu menggerakan petani dan nelayan untuk masuk kedalam agroindustri / home industry pengolahan produk.  Hal ini disebabkan karena masih ada beberapa kendala yang dihadapi antara lain keterbatasan infrastruktur. Infrastruktur adalah pendukung bagi kegiatan utama dalam suatu wilayah, mampu menggerakan sektor riil, menyerap tenaga kerja, serta memicu kegiatan produksi. Ketidakmampuan memberikan pelayanan infrastruktur merupakan indikasi kemampuan pemerintah yang semakin terbatas dalam kapasitas pembiayaan.  Infrastruktur tidak hanya terbatas pada prasarana dan sarana fisik saja, melainkan mempunyai fungsi yang lebih penting lagi yaitu fungsi jasa pelayanan. Dalam hal ini jasa pelayanan mempunyai tiga dimensi penting yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Infrastrukur dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu Infrastruktur yang bersifat software seperti: kebijaksanaan, kelembagaan, regulasi, keuangan, penelitian dan pengembangan, tata ruang, dan lain-lain; serta Infrastruktur yang bersifat hardware seperti : jalan, jembatan, irigasi, pasar, pelabuhan, jaringan listrik, telepon, dan lain sebagainya. Secara komprehensif kita perlu mengembangkan infrastruktur yang menunjang system agribisnis pada kawasan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm-nya yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar wilayah, kesenjangan antara kota dan desa dan kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan pendapatan asli daerah. Disisi lain pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis serta penguatan kelembagaan petani agar mampu meningkatkan produksi, produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, merupakan prioritas utama yang harus disiapkan. Kemudian diikuti dengan peningkatan sarana-prasarana meliputi: jaringan jalan termasuk jalan usaha tani (farm road), irigasi, pasar, air bersih, pemanfaatan air limbah, dan pengolahan sampah (zero waste). Dengan demikian akan terjadi peningkatan sarana prasana kesejahteraaan sosial meliputi pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan sarana-prasarana umum lainnya seperti listrik, telekomunikasi dan lain sebagainya akibat kesejahterahan semakin meningkat. Dengan adanya pemahaman tentang comparative advantage, maka pengembangan suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan wilayah tersebut. Usaha mencapai visi dan misi suatu wilayah perlu analisis lingkungan eksternal dan internal wilayah yang tepat dan akurat, sehingga kesempatan bersaing (competitive advantage) dapat digali secara mandiri, kreatif, inovatif dengan mengandalkan komoditas unggulan lokal (local commodity advantage), serta pemahaman yang komprehensif agar seluruh aspek yang terkait dapat diintegrasikan secara sempurna. Disinilah dibutuhkan komitmen sharing kegiatan antar stake holder terkait secara vertikal dan horizontal dengan melibatkan tiga pilar pembangunan yaitu masyarakat, pemerintah dan swasta.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline