Bulan September 2007. Saya mendapat sebuah kepercayaan dari Bagian Humas Setda Pemda Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, mengabadikan obyek-obyek strategis di Kabupaten yang baru ini baik melalui Foto maupun Video. Hasil dari dokumentasi itu akan dipamerkan pada Pameran Pembangunan Provinsi Sulawesi Utara pada bulan yang sama. Setelah beberapa hari keliling Pulau Siau, pada tanggal 6 September saya berada di Pulau Tagulandang. Satu hari berada disana mengelilingi Pulau tersebut dan pada keesokan harinya langsung balik ke Siau. Menumpang Kapal Cepat Express Bahari, saya tiba di Siau sekitar pukul 1 siang setelah menempuh perjalanan laut kurang lebih 45 menit. Rasa lelah masih terasa, namun begitu turun di Pelabuhan Ulu Siau, saya langsung naik motor bersama kakak saya, menuju ke Pehe, karena disana telah menanti Camat Siau Barat, Bpk. R. A. Sagune. Bapak Camat ini memfasilitasi kami berangkat menuju ke Pulau Makalehi. Di Pehe -yang merupakan pelabuhan nelayan- telah menanti Perahu Motor yang akan membawa saya ke Pulau Makalehi dan Kapitalau (Kepala Desa) Makalehi yang juga merupakan pemilik Perahu Motor. Bersama dengan sekitar 15 orang penumpang lainnya, diantaranya Kepala Pos PLN, Pendeta, Babinsa Pos TNI dan beberapa penduduk lainnya, bertolaklah kami menuju Pulau Makalehi sekitar pukul 4 sore. Baru saja, perahu motor keluar dari Pelabuhan Pehe, ombak ganas yang menjadi ciri khas perairan Sangihe Talaud telah menghadang kami. Kakak saya yang begitu naik langsung memilih tempat di haluan, tidak bisa berkutik dan hanya bisa pasrah memeluk tiang haluan tanpa bisa kemana-mana karena perahu diombang-ambing dengan dahsyatnya. Sebuah pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Perjalanan ke Pulau Makalehi sebenarnya bisa ditempuh sekitar 1 jam, tapi kali ini karena ombaknya cukup lumayan, membuat perjalanan kami hampir 2 jam, sehingga Perahu Motor nanti bisa berlabuh menjelang malam. Dan ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Pulau Makalehi. Pulau Makalehi sendiri berada dibawah administrasi Kecamatan Siau Barat. Pulau ini merupakan Pulau terluar dari Sitaro bahkan merupakan salah satu pulau terluar dari Negara Republik Indonesia. Berada diarah Timur dari Pulau Siau, Pulau Makalehi berhadapan langsung dengan Malaysia Timur, sehingga Pulau ini kelihatan terongok sendiri di lautan, terpisah dari pulau-pulau lainnya. Luas wilayah Pulau Makalehi ± 300 Ha. Masyarakatnya 100% bermata pencaharian nelayan. (Hal lainnya tentang Makalehi dapat dilihat pada posting yang berhubungan). Saya bersama Kakak saya menginap di rumah Kapitalau. Setelah istirahat sejenak dan mandi, lalu kami duduk-duduk diteras ditemani Kapitalau, 2 anggota Babinsa (Bintara Bina Desa) yang menjaga Pos TNI disana, dan Perangkat Kampung. Kami bertukar cerita sambil merumuskan rencana besok hari. Ditengah pembicaraan itu, tiba-tiba salah satu anggota Babinsa tersebut menyebut soal tengkorak. Rasa penasaran saya tergelitik, dan memburu ceritanya. Tengkorak bermisteri Ternyata…. di pulau ini terdapat sekumpulan tengkorak yang diselimuti misteri. Misteri, karena sejak diketahui keberadaannya sampai dengan saat sekarang, tidak ada seorang pun penduduk Makalehi yang mengetahui asal muasal tengkorak tersebut. Yang mereka tahu, begitu kehidupan beradab hadir di Makalehi, tengkorak itu telah ada disana. Letaknya diatas bukit disalah satu sisi pulau, berada di dalam goa kecil. Dan misteri berikutnya -yang ini telah menjadi mitos-belum pernah ada seorang pun yang berhasil mengabadikan tengkorak tersebut, baik melalui foto maupun video. Telah banyak orang yang datang ke Makalehi mencoba untuk memotret dan menshooting gambarnya, tapi semuanya gagal. Jangankan dibawah ke tempat cetak foto, sampai di kampung saja belum pernah ada yang berhasil menyimpan gambarnya. Demikian pula yang dialami oleh Babinsa tersebut, sehari sebelum kedatangan kami, dia mencoba mengabadikan tengkorak-tengkorak tersebut. Agar supaya dapat pembanding yang logis, dia sengaja mengajak anak-anak sekolah menemaninya ke lokasi. Dengan bermodal HP berkamera merk Nokia keluaran anyar, dia mencoba memotret kumpulan tengkorak tersebut. Dan ini merupakan usaha yang kesekian kalinya. Berhasil, gambar tengkorak muncul di layar HP nya. Kemudian dia meminta anak-anak sekolah itu berdiri di dekat tengkorak tersebut, dan memotretnya. Berhasil pula. Lalu mereka kembali. Dan seperti misteri yang menyelimuti tengkorak itu selama ini, a logis itu kembali terjadi. Foto-foto tengkorak itu lenyap dari memori HP. Terhapus?, mungkin itu jawaban teknis yang dapat diajukan. Tapi, tunggu dulu, mengapa gambar anak-anak sekolah itu ada, tidak ikut terhapus bersama tengkoraknya. Mitos tengkorak tersebut tidak bisa difoto tetap tak terpecahkan. Dan malam ini, mereka menceritakannya pada kami, sambil berharap kami bisa punya waktu besok “mencoba” mengabadikannya. Jelas saja saya langsung mengiyakan. Bahkan dengan semangat dan rasa penasaran serta siap-siap menjadi orang yang kesekian gagal mengabadikannya. Besok harinya, tanggal 8 September 2008. Setelah keliling Kampung Makalehi, akhirnya kami memutuskan ke lokasi tengkorak tersebut. Letaknya tidak jauh dari perkampungan, kami harus mendakinya. Kemudian dengan agak susah payah memanjat tebing kecil dimana goa itu berada. Saya hampir saja terpeleset. Tengah hari, ketika kami menginjakkan kaki di goa tersebut, ditemani 2 anggota Babinsa, Kapitalau, Sekdes, Polisi Kampung serta Pala (Kepala Dusun). Jantung saya langsung berdebar ketika pertama kali melihat kumpulan tengkorak tersebut. Kumpulan Tengkorak Ya, ini merupakan kumpulan tengkorak. Bahkan bukan cuma itu, ini merupakan kumpulan tulang belulang manusia lengkap. Dari tulang jari sampai gigi. Menurut cerita mereka, tengkorak ini berjumlah 8 buah, tetapi yang ada di goa ini hanya 7. Kata mereka, yang satunya berukuran sangat raksasa, dan hanya pada waktu-waktu tertentu muncul. Kali ini saya tidak mujur karena dia tidak muncul. Kumpulan tulang-belulang ini tertata berjejer di atas sebuah kayu yang dilubangi. Menurut cerita, kayu tersebut adalah perahu. Memang masih terlihat bentuk perahunya, walau sebagian sudah hancur. Terdapat pula sebuah teko, cangkir dan mangkuk. Yang ini sudah tidak asli, karena menurut Kapitalau, yang asli telah hilang, sehingga mereka menggantinya dengan yang ada sekarang. Teko dan mangkuk tersebut, juga asbak merupakan tempat bagi penduduk untuk memberi kumpulan tengkorak itu minum dan merokok. Tengkorak Minum “Cap Tikus” dan Merokok Pala (kepala dusun) yang merupakan guide kami, berkomat-kamit dalam bahasa Siau yang saya tidak mengerti. Lalu dia meminta Rokok pada kakak saya, menyulutnya dan menaruhnya ke mulut tengkorak tersebut. Satu tengkorak satu batang. Katanya, mereka harus diberi rokok dan minuman “cap tikus” (sejenis minuman beralkohol tinggi yang terbuat dari getah pohon aren). Misteri berikutnya terjadi lagi. Rokok yang ditaruh dimulut tengkorak itu habis seperti benar-benar dihisap. Padahal disulut bersamaan dengan rokok kakak saya. Rokok kakak saya -yang perokok berat- malah belakangan habis. Mungkin tertiup angin?… mungkin saja. tapi bagaimana dengan cap tikus yang juga habis perlahan-lahan itu?. Potret dan Shooting Setelah ritual itu selesai, kini giliran saya mengerjakan tugas. Mengabadikan. Nah, ini dia yang berat. Saya terbebani dengan mitos yang selama ini menyelimuti kumpulan tulang-belulang ini. Gugup. Lalu saya mencoba untuk menenangkan diri dengan mengobrol sambil menarik nafas panjang. Antara yakin dan tidak. Perlengkapan yang saya bawa, Camera DSLR Olmypus E500, Camera Saku Digital Samsung Digimax A503, Camera Video Sony E48 dan Sony E46. Saya meminta kakak saya, menganti baterai Samsung Digimax A503, saya mau memotret dengan kamera itu. Karena Camera DSLR Olympus saya telah gunakan selama di Tagulandang, dan memori cardnya telah berisi ratusan foto dari Tagulandang dan belum pernah sekalipun diback up. Demikian pula saya meminta dia menganti pita kaset mini dv baru di Camera Video. Untuk jaga-jaga, jangan sampai kerja keras kami selama di Tagulandang terhapus sia-sia. Kakak saya memegang Camera Video dan saya pegang Camera Samsung Digimax. Lalu kami show on. Saya menekan tombol power. Hidup. Mengambil posisi untuk mendapat angel, yup, komposisi sudah teratur pada display dan menekan shutter. Dan bles, kamera saya mati. Padahal baterainya baru diganti, alkaline lagi. Saya agak terkejut dan gugup, yang membuat mata orang-orang memandangi saya. Kakak saya menghentikan pengambilan gambarnya. Saya mencoba menghidupkan kembali kamera saya, tapi tidak berhasil. Namun pada saat itu juga keberanian saya muncul. Mitos itu dipatahkan Saya meminta kakak saya mengganti Cameranya dengan Sony E46 dan mengambil kembali gambar. Dan, sebuah langkah sangat berani saya lakukan, saya menganti kamera saya dengan DSLR Olympus E500, kamera utama saya. Kakak saya mengernyitkan dahinya, ya, resiko kehilangan ratusan foto dari Tagulandang. Saya mengambil resiko itu. Menyalakan tombol power, mengatur beberapa parameter, menghidupkan lampu flash. Dan mulai memotret. Kali ini kamera saya tidak mati. Saya terus membidik. Tidak mudah mengambil angel dan mengatur komposisi, karena goa itu sangat sempit. Setelah merasa cukup. Saya mengistirahatkan kamera. Lalu kami meninggalkan lokasi. Saya sengaja tidak melihat ke display saat memotret tadi, cukup melalui viewfinder. Dan sewaktu dalam perjalanan pulang saya tidak memplaynya, walau rombongan kami mendesaknya. Penasaran itu tetap saya simpan. Apakah saya berhasil mengabadikannya?. Kami menuruni bukit, dan saya masih memotret banyak obyek. Lalu menjelang sore, dengan menumpang Perahu Speed Kayu kami bertolak balik ke Pehe Pulau Siau. Kali ini ombaknya lebih ganas. Kakak saya sangat ketakutan. Kami tiba di Pehe menjelang malam. Dengan Sepeda Motor kami kembali kerumah di Kapeta. Sesampai di rumah, saya istirahat sejenak. mandi, mengaso sambil minum kopi. Kemudian setelah merasa cukup, saya mengambil kamera dan membersihkannya. Menekan tombol on, memplay, dan gambar-gambar tengkorak itu masih ada di memory card. Cepat-cepat saya mengambil kabel transfer, lalu mentransfer foto-foto itu ke hard disk. Menyimpannya dan mencoba mencetaknya. Dan yup. Berhasil!. Minggu depannya saya mencetak di lab foto yang ada di Manado. Mitos itu telah terpatahkan: SAYA BERHASIL MENGABADIKANNYA. Gambar tengkorak-tengkorak itu terabadikan seperti yang anda lihat. Telah diikutkan dalam Pameran bersama dengan gambar videonya. Dan sayalah orang pertama yang berhasil memotretnya, seperti yang diakui oleh penduduk Pulau Makalehi. Mitos yang tersisa Satu lagi mitos yang menyelimuti kumpulan tengkorak itu adalah keyakinan penduduk setempat akan amukan alam lokal jika ada yang sengaja mengutak-atik kumpulan tengkorak tersebut. Menurut mereka, jika salah satu dari tulang belulang tersebut digeser sedikit saja dari posisinya, maka angin barat lokal akan bertiup sangat kencang, walau cuaca pada saat itu cerah. Dan jika sudah demikian, hanya satu orang yang bisa mengembalikan posisi tulang yang bergeser tersebut, seorang Nenek. Ajaibnya, dia tidak perlu ke goa tersebut, cukup mengembalikan posisi tulang tersebut dari rumahnya. Sebenarnya saya mau meminta ijin untuk meminjam salah satu dari tulang tengkorak tersebut, tapi saya ingat saya mau balik sore itu ke Pehe, ya takut juga kalau-kalau angin barat bertiup, bisa-bisa kami ditelan ombak.
Masih menurut mereka, telah banyak juga upaya coba-coba dari beberapa orang yang nekat mengambil tulang belulang tersebut. Namun setiap kali dibawa, tulang-tulang tersebut kembali ke tempatnya semula. Pernah menurut mereka, seorang warga negara Belanda, mencoba membawa semua tulang-belulang tersebut. Dia mengisinya di peti, tetapi begitu dia keluar dari Pulau Makalehi tulang-tulang tersebut telah kembali ke tempatnya semula dalam posisi seperti tidak pernah diutak-atik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H