Lihat ke Halaman Asli

Dukung Jokowi, Jangan Antikritik Dong

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau ingin berbicara soal Jokowi, kudu hati-hati, jika menyimpang sedikit saja, bisa habis di "bully". Itulah sedikit pengalaman, ketika saya membuat posting di salah satu Grup FB pendukung Jokowi, serasa masuk ke kandang macan.

Sekarang saya mau menulis lagi opini soal Jokowi ...

Kenapa ? Bukan karena saya anti Jokowi, atau mau nantang pendukung Jokowi, tetapi justru saya ingin menolong para pendukung Jokowi, berupa pemikiran. Karena dukungan TANPA BERPIKIR CERDAS, hanya akan menumbuhkan FANATISME BUTA, dan bisa saja malah menyusahkan orang yang kita dukung.
Sekarang saya belum dapat mengatakan diri saya sebagai pendukung Jokowi, karena sekarang beliau belum Capres, bahkan beliau saja bilang "gak mikir". Jadi buat apa juga saya harus membuang kapasitas "Diskspace" otak saya memikirkannya, apalagi sampai menjadi pendukung fanatik. Kalau ingin konsolidasi ya boleh-boleh sajalah.

O ya, mengapa fanatisme tanpa berpikir cerdas bisa menjadi fanatisme buta ??? Bayangkan, saya bicara soal tantangan dan kendala apabila Jokowi nanti jadi Presiden, lalu begitu banyak respon (sinis) dengan mencontohkan keberhasilan Jokowi sewaktu menjadi Gubernur Solo dan sekarang sebagai Gubernur DKI Jakarta. Benar-benar Jaka Sembung, gak nyambung.

Kalau kita TIDAK PAHAM bedanya otoritas atau kewenangan dan lingkup kerja seorang GUBERNUR dan seorang PRESIDEN, maka sebaiknya tidak usaha ikut bicara, karena hanya akan menambah hiruk pikuk politik, tidak akan mencerdaskan. Lebih baik menjadi pendukung  yang duduk manis, diam sambil belajar.

Sebagai GUBERNUR, Jokowi sangat powerful, siapapun pegawainya yang tidak becus kerja, mau Walikota, Camat, apalagi Lurah, bisa beliau Pecat/ Mutasi "sesukanya". Tidak ada cerita. Beliau bisa sangat tegas pada posisi ini. Tetapi kalau jadi Presiden ???

Di Posisi (Presiden) ini, kita perlu belajar sedikit ...

Pelajaran PALING PENTING, memahami BUDAYA perpolitikan di Indonesia. Sudah ada contoh-contoh kasus yang dapat kita jadikan referensi untuk belajar, misalnya sewaktu Ibu Megawati gagal jadi presiden di tahun 1999, menjadi puteri yang tertukar dengan Gus Dur. PDI-P pemenang 33% suara, tetapi Amien Rais dengan "bijaksana" memunculkan POROS TENGAH, dan Gus Dur menjadi presiden. Ingat ??? atau belum lahir waktu kejadian itu ???

Inilah yang saya maksudkan BUDAYA Politik itu

Menjadi Presiden, anda tidak akan bisa (sesukanya) memecat Menteri yang lalai urus kedelai, tanpa berkompromi dengan si pemilik Menteri, yaitu partai politik. Walau kita tahu dan sadar sesadar sadarnya  PRESIDEN adalah pemilik hak PREROGATIF soal Menteri. Maka inilah yang saya maksudkan BUDAYA Politik itu. Sekali lagi, walaupun ada hukum Tata Negara soal Hak Prerogatif Presiden, namun pada prakteknya (budaya), selalu saja ada kompromi. Kecuali Partai Pengusung Presiden mampu menang sangat mayoritas, seperti dulu GOLKAR di tahun 1997 menang sampai 70,2% !, maka Memecat atau Memutasi Menteri yang tidak becus kerjanya, barangkali tidak ubahnya Memecat atau Memutasi Walikota.

Jokowi Presiden ...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline