Lihat ke Halaman Asli

Pahlawan untuk Desa Kecilku

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Desa Sukosewu, Desa kecil di Bojonegoro terdapat sebuah dusun Bernama dusun Jajar. Dusun kecil dengan segala keterbatasannya. Selain keterbatasan dalam hal ekonomi, dusun ini juga miskin dalam hal pendidikan. Tidak satu pun masyarakat yang mengenyam bangku kuliah. Keterbatasan ini ber-impact pula ke pola hidup masyarakat. Minimnya kegiatan masyarakat, apalagi organisasi masyarakat. Yang paling nampak dari rendahnya budaya masyarakat dusun ini adalah dapat dilihat dari aktivitas sehari-hari. Masyarakat dusun ini mandi, cuci pakaian, buang kotoran dan mengambil air untuk keperluan masak dari sungai yang melewati dusun ini. Tepatnya bukan sungai, tapi saluran irigasi. Saluran irigasi peninggalan pemerintahan belanda beberapa ratus tahun yang lalu.

Sebagian besar kebutuhan hidup dusun ini diperoleh dari sawah mereka, besar-kecil tak jadi penghalang. Hanya sawah yang menjadi pemasok kebutuhan sehari-hari. Tingkat konsumsi masyarakat yang rendah menjadi penghalang berkembangnya perekonomian masyarakat dusun ini. Di lain pihak pembangunan layanan umum yang paling vital seperti jalan raya sangat minim. Masih banyak jalan yang belum diaspal, hanya memakai pengeras jalan dari batu kapur, orang setempat menyebutnya kathel.

Di tengah-tengah kemunduran budaya masyarakat Dusun Jajar, ada seorang pemuda lulusan pondok pesntren yang dulunya dilahirkan di Dusun tersebut. Beliau Bernama Muhammad Daiman. Lebih dari 10 tahun pemuda tersebut menuntun ilmu agama di Pondok pesantren Kabupaten tuban. Ilmu yang didapat kemudian dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak dusun tersebut. Dalam perjuangannya, tidak semudah membalikkan tangan, baik dari segi dana maupun perbedaan pemikiran dengan tokoh masyarakat dusun tersebut selalu muncul.

Proses ini dimulai dari sebuah peringatan Maulud Nabi dimana Pemuda ini diminta mengisi ceramah acara tersebut. Namanya lulusan pesantren satu-satunya pastinya dialah yang dipercayakan masyarakat untuk mengisi acara tersebut. Dan sampai di hari H, saat Pemuda ini mengisi acara tersebut, banyak masyarakat terpana dengan skill pumuda ini dalam menyampaikan ceramah. Sikapnya yang santun, isi ceramah yang berbobot namun tidak susah dicerna, dan yang tidak kalah lagi isi ceramah berbeda dengan ceramah-ceramah yang dibawakan pemuka agama yang sebelumnya. Pemuka agama yang sudah tua, dengan segala keterbatasan ilmunya, dan ceramah yang sangat panjang membuat yang mendengarnya tidak lagi fokus pada isi ceramah, tapi jarum jam dinding yang tergantung di belakang penceramah tersebut.

Setelah acara selesai, obrol punya obrol pengurus mushola sepakat gimana kalau didirikan suatu pendidikan informal mengaji, mengingat banyak masyarakat yang belum bisa baca Al-quran. Kesepakatan pun terlaksana dan keesokan harinya pun kegiatan belajar-mengajar dilakukan. Memang perjuangan itu tidak semudah membalik telapak tangan. Murid yang hadir dalam kegiatan tersebut hanya tiga orang. Dan yang membikin susah untuk dimulai ngaji nya adalah mereka terpaut usia yang cukup jauh. anak pertama adalah adji dengan usia 6 tahun(masih kelas 1 MI), anak yang ke dua Rian (Kelas 6 MI) dan yang ketiga adalah Rahman (Kelas 2 SMP). Ketiganya memiliki kemampuan berbeda dalam membaca Alquran Pastinya. Akhirnya diputuskan dimulai dari pelajaran paling dasar, yaitu makhraj Huruf Hijaiyah. Mengingat meskipun ada yang sudah bisa baca Al-quran, namun spellingnya sangat hancur.

Waktu terus berjalan, dan enam bulan setelah pendidikan ini berjalan sudah lebih dari 100 murid bergabung, termasuk saya yang ada di dalam nya. Saya masih ingat jelas iuran bulanan hanya dipungut Rp.500. Itu pun hanya cukup untuk membeli kapur tulis. Bagaimana dengan tenaga gurunya... *Gratiss.. nggak dibayar se peser pun..

Mengingat tempat mengajar hanya berukuran 15x7 meter (musola kecil), maka rumah-rumah warga pun dimintai bantuan dijadikan tempat ngaji, dan rumah saya salah satunya. Jadi total saat itu sudah ada 5 kelas yaitu musola menjadi dua kelas, rumah saya dan dua lagi rumah tetangga saya. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Semua masyarakat pun mendukung. Alhamdulillah sampai saat itu tidak ada hambatan yang cukup berarti, paling yang menjadi masalah adalah infrastruktur(gedung dan jalan yang sangat becek berlumpur setelah hujan turun) serta tenaga pengajar. Saya masih ingat setelah hujan pasti tidak ada teman-teman yang datang ngaji.. maklum jalanan jadi seperti rawa. Akhirnya berkat kekompakan masyarakat juga, pagi hari keesokan harinya pemuda-pemuda dan bapak-bapak tumpah ruah di kali yang ada tidak jauh dari dusun kami untuk mengambil pasir(dipilih pasir kasar) untuk membuat urugan jalan yang becek setelah hujan tersebut.

Tidak hanya itu, lokasi belajar - mengajar berada di seberang irigasi yang saya ceritakan di atas. Jembatan penghubung hanya terbuat dari bambu yang dianyam. Seperti yang kita tahu bagaimana licinnya bambu yang habis tersiram air hujan, apalagi ditambah lumpur yang masih nyangkut di kaki-kaki dan akhirnya menempel di jembatan tersebut, semakin parah licinnya jembatan tersebut... tak sedikit dari murid-murid yang terpeleset kemudian jatuh ke irigasi tersebut. Tapi alhamdulillah tidak ada yang meninggal :), paling hanya basah kuyup seluruh badan dan isi tas mereka. Paling kasihan jika ada yang jatuh tidak di air, tapi di pinggiran irigasi yang berisi lumpur kecoklatan. Nggak tega ngelihatnya... pengen tertawa campur aduk dengan kasihan.

Balik lagi ke kekompakan masayarakat, saat panen masyarakat membayar iuran. Tidak banyak hanya 20.000-50.000. Hasilnya dibuat untuk membangun gedung dan Jembatan. Pastinya tidak dibangun serengtak dalam satu waktu.. Butuh proses.. Saat itu gedung yang menjadi prioritas terlebih dahulu.. masalah banyak anak yang jatuh terpeleset di jembatan, bisa diakali dengan memperlebar badan jembatan dan dipasang tulisan "Hati-hati". Bagaimana lagi, modal tidak ada.

Alhamdulillah Gedung dan Jembatan sudah jadi. Gedung yang berdiding bambu.. tapi jembatan saat ini sudah terbuat dari beton. Semua berkat kekompakan bersama, dan tentunya Ustadz kami yang sekarang tidak hanya lagi berpera sebagai guru ngaji tapi pemimpin dusun kami. Luar biasa.

Pola hidup masyarakat pun lambat laun berubah. Hal ini dikarenakan pelajaran yang diberikan tidak hanya sekedar membaca Alquran, tapi memahami bagaimana hidup berdasarkan Islam. Sungguh lebih tinggi peradaban islam dibanding dengan jaman modern saat ini. Hanya kita saja yang kurang bisa memahaminya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline