Lihat ke Halaman Asli

roni tan

pemuka agama

Mengkail Simpati

Diperbarui: 21 Oktober 2016   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya bukan seorang yang jago mancing tapi pernah beberapa kali mancing di empang, kolam pemancingan. Menjadi yang menarik dari seorang pemancing adalah akan mencari umpan yang sesuai dengan jenis ikan yang akan di pancing - cacing, pelet atau ramuan umpan rahasia intinya umpan pancing sesuai dengan selera ikan yang mau dipancing, belum lagi ditambah hiasan pancing dan pelampung pancing agar menarik ikan untuk mendekat dan "tau" bahwa ada makanan gratis, lemparan dengan teknik tangan yang tidak terlalu keras tapi melontarkan jauh mata kail. Semua ini di harapkan untuk mendapatkan ikan secara cepat, besar dan tarikan ketika harus beradu teknik dengan rontahan ikan itu menjadi menarik.

Lalu apa kaitan dengan memancing dengan pilkada atau pilpres efek yang rasanya hampir sama terjadi di tiap daerah yang mengadakan pilkada atau pilpres yang dilakukan oleh para calon, timses maupun media. Dalam pengamatan saya secara awam maka teknik, cara, metode nya bila tidak mau di bilang sama maka mirip - mirip ya bahasa anak muda 11 12 lah..beda - beda tipis yaitu para calon yang telah ditetapkan akan diusung partai politik ataupun "mendandani" diri agar diusung mencoba untuk mengkail simpati dari masyarakat. Contoh yang dipertontonkan pada kita yang aktif online adalah foto - foto atau video kegiatan para calon itu untuk turun ke masyarakat. 

Ada yang melalui belanja ke pasar tradisional untuk mengkail simpati bahwa harus perhatian pada pedagang tradisional, ada yang "rela-rela" sambil tetap tersenyum naik transportasi umum yang non AC yang pastinya dihujani oleh udara panas dan asap kenalpot tapi tetap tersenyum, makan di pinggir jalan dengan makanan - makanan yang menyimbolkan makanan rakyat umumnya - warteg, bakso, pecel dan kembali tetap tersenyum sambil berkata enak, pergi ke pasar tradisional-bertanya dengan pertanyaan - pertanyaan simpati juga membeli beberapa produk yang di jual. Ehm semua itu sih sah - sah saja sebagai upaya mengkail simpati. Dan sah - sah saja bila masyarakat memakan kailan itu dan akhirnya bersimpati bahkan pada pilkada maupun pilpres memilih calon itu. 

Tapi benarkah itu memang jati diri para calon ini yang sebenarnya? Benarkah senyum mereka yang manis - manis sambil jempol di angkat memang berasal dari hati mereka yang tertulus-tulusnya? Ehm entah lah karena hati orang tiada yang tau selain Tuhan yang Maha Tahu yang mengetahuinya. Tapi apakah kita tidak bisa menilainya? Bisa sih - sederhananya bila bakal calon itu akhirnya tidak dipilih partai untuk dicalonkan maka apakah tetap mau melakukan semua contoh yang diatas tadi, bila kalah dalam pemilihan masihkah mau melakukan semua yang selama ini dilakukan. Atau kail itu diangkat dari kolam masyarakat, dikeringkan, masukkan ke box dan akan dikeluarkan lagi bila akan ikut kembali dalam pemilihan tapi bila tidak akan terkubur dalam sejarah. 

Tapi benarkah itu memang jati diri para calon ini yang sebenarnya? Benarkah senyum mereka yang manis - manis sambil jempol di angkat memang berasal dari hati mereka yang tertulus-tulusnya? Ehm entah lah karena hati orang tiada yang tau selain Tuhan yang Maha Tahu yang mengetahuinya. Tapi bila terjun ke masyarakat dan jari telunjuk yang terus mengacung menunjuk ini salah itu salah..intinya tidak ada yang benar yang selama ini dilakukan pemerintah yang sedang bertugas dan selalu berkata nanti kalau saya pasti akan seperti ini. Ehm wajar saja sih namanya juga sedang mengkail simpati. 

Ya sah - sah saja semua tindakan mengkail simpati ini dilakukan. Sama seperti sah - sah saja seorang penjual obat selalu berkata berulang - ulang bahwa obatnya bisa menyembuhkan segala penyakit yang kata istri saya sih kalau begitu dokter sepi atau Rumah Sakit pasti sudah mematenkan obatnya. Tapi ya sah - sah saja sih namanya juga usaha siapa tau ada yang minat lalu meng hap kail simpati dan calon pemimpin ini menjadi pemimpin. Bila itu terjadi maka kinerjanya yang pada akhirnya akan dilihat, di nilai dan dirasakan masyarakat. 

Kinerja yang berguna atau malah tidak berguna bagi masyarakat. Jadi selamat menikmati upaya pengkailan simpati tapi jangan cepat - cepat bersimpati. Kalau saya sering bilang sama anak saya yang sekarang usia 3,6 tahun bila ingin lakukan apapun maka saya selalu bilang pakai otak (bahasa halusnya gunakan otak yang sudah Tuhan kasih). Salah pribadi yang pernah mancing ikan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline