Lihat ke Halaman Asli

Nina

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nina

Oleh: Roniko Pardede, FE Unika St. Thomas SU

Deerrtt. Deerrttt. Bunyi telepon seluler di balik celana tisuku. Ku rogoh dan ku buka. Nina. Ada pesan dari Nina. Seraya mendapat kado di hari ulang tahun, aku pun tersenyum. Lebar. Sangat lebar hingga mata ku menyempit, nyaris tidak kelihatan. Ku tekan tombol pembuka pesan. “Kalau ada waktu, besok kita ketemu di kampus ya, jam 9,” begitu isinya. “Ya” balasku.

Ini bukan kado biasa. Ini kado istimewa. Lama aku menunggu saat-saat seperti ini. Jadi, tidak salah bila hatiku melompat kegirangan. Jiwa ku bersorak-sorai tanda kemenangan. Aku menari dan berjabat tangan dengan para pahlawan. Sebab hari ini, kami adalah sekumpulan para pemenang.



***

Nina. Aku lupa entah sudah berapa lama ia tidak menjawab telepon dan membalas pesan singkatku. Entah itu dari HP (baca: telepon genggam) atau pun facebook, mainan anak zaman.

“Lalu, mengapa ia mengirim pesan begitu?” Tanya Adi yang sedari tadi mendengarkan curahan hatiku.

“Aku tidak tahu. Mungkin besok bisa ku tanyakan padanya. Heheheh ...,” jawabku sedikit bergurau.

“Dasar. Aku serius, tahu!”

“Aku enggak tahu, Di. Apa lagi yang harus ku katakan padamu. Bila kau bertanya padaku, aku bertanya pada siapa?” lagi dan lagi, aku bergurau.

Ia jengkel lalu pergi meninggalkanku. Menghabiskan sisa malamnya bersama kebisuan. Sementara aku masih sibuk dengan rasa penasaran. Dengan tanda tanya. Tanda seru. Dan semua tanda baca yang ada. Hingga mata lelah dan menutup hari yang indah.

***

Malam berganti pagi. Bulan berganti matahari. Dan ku sambut hari ini dengan semangat dan wajah berseri. Tibalah waktu yang dinanti-nati. Pertemuan sejoli. Sepasang merpati yang sedang mencari arti dari sebuah misteri. Teka-teki. Jawaban dari sebuah pertanyaan.

“Aku sudah di kampus, kamu dimana?” isi pesan yang ku kirimkan pada Nina.

“Maaf ya, aku telat. Masih di jalan.”

Menunggu. Aku setia menunggumu, Nina. Kurang apa pengorbananku. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Sejak kelulusanmu. Keberangkatanmu ke Bandung. Dan hari ini. Hanya untuk beberapa menit saja. Mudah. Tapi, tolong. Tolong jangan permainkan hatiku. Aku siap menunggumu beberapa tahun lagi. Tapi untuk yang satu ini. Jangan. Jangan pernah coba. Nanti kau akan lihat seorang Niko yang berbeda.

“Kamu dimana? Aku sudah di kampus.”

“Aku menunggu di tempat kita. Kamu masih ingatkan.”

Ya. Di sini tempat kita. Ruang pertemuan tidak sengaja. Yang tidak ku sangka-sangka. Cepatlah datang, Nina. Please. Hatiku tak tahan lagi. Ia hampir mengidap penyakit amnesia (baca: lupa ingatan). Lukisan wajahmu terasa abu-abu. Segera.

Eeemmm. Aroma ini. Dari mana datangnya. Wangi sekali. Ia menari-nari di rongga pernafasanku. Pula berdesik, “Ia sudah tiba, bersiaplah.” Seperdetik kemudian. Ku lihat sesosok bidadari. Ia datang. Gadis bermata elangku. Yang telah lama ku rindu. Langkah kakinya jauh berbeda. Lebih elegan dan mewah. Mahkotanya juga. Telihat megah. Sungguh megah. Menjadikannya sangat indah dan mempesona.

Mata. Ya, mata itu. Aku mencarinya dari kejauhan. Apakah ada perubahan juga. Mungkinkah ia menyihirnya menjadi lebih terbuka. Ku harap tidak. Jangan. Aku tidak suka. Jangan lakukan itu, Nina. Ku mohon.

Bagus. Kau mendengarkanku. Mata itu masih tetap sama. Kamu tetap gadis bermata elangku. Sempurna.

Kami melangkah dari dua arah mata angin. Utara dan selatan. Ia berjalan dengan langkahnya yang elegan. Ku imbangi dengan jejak yang tegas. Ia tersenyum. Aku juga tidak mau kalah. Ia menjulurkan lidahnya seperti ular. Ku main-mainkan hidungku. Seperti salah satu tokoh dari film silat Kera Sakti. Hal itu membuka senyumnya semakin lebar. Begitupun aku. Tidak pernah kami melatih ini. Sekali pun tidak. Bila mungkin kamu bisa membayangkannya, cobalah. Sesaat lagi kami bertemu di titik nol koordinat.

Teng. Teng. Teng. “Maukah kamu menjadi pendamping hidupku?” Guubrraakkk. Hahahaha…. Sakit. Aku sakit. Bagaimana mungkin aku berharap ia mengatakan pertanyaan itu. Bodoh. Mengapa aku jadi bodoh seperti ini. Atau mungkin aku demam hingga mengigau. Tidak. Suhu tubuhku normal-normal saja. Hahaha…

“Kamu mau menjadi sahabatku? Sahabat di pagi hari. Siang. Malam. Hingga pagi lagi. Sahabat di kala suka dan duka. Sahabat yang tidak akan meninggalkan sahabatnya, meskipun ia melakukan kesalahan. Sahabat yang menjadi ayah dari anak-anakku.”

Wuuaaww. Luar biasa. Sejak kapan ia memiliki kemampuan ini. Merangkai kata-kata yang sempurna. Sangat sempurna.

“Jangan tanyakan itu. Kamu sudah tahu jawabannya,” aku berusaha untuk tetap tenang agar terlihat cool.

“Tidak. Aku tidak tahu. Kalaupun aku tahu, aku ingin tahu darimu,”

Apa lagi yang kau tunggu, Niko. Jangan buang-buang waktumu untuk hal yang tidak perlu. Kamu pasti menyesal bila ia berubah pikiran. Jangan manja. Segera. Wanita ini sungguh istimewa. Jangan sia-siakan penantianmu selama ini.

“Iya, aku mau. Jika ini jawab yang kamu inginkan. Aku bersedia menjadi sahabatmu di pagi hari. Siang. Malam. Hingga pagi lagi. Sahabatmu di kala suka dan duka. Sahabat yang tidak akan pernah meninggalkan sahabatnya, meskipun ia melakukan kesalahan. Sahabat yang menjadi ayah anak-anak kita.”

Komunitas Veritas




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline