Lihat ke Halaman Asli

Rudi Gracia, Roma, dan Gitar

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK


Sumber Top Skor

NYARIS tak ada yang berubah pada diri Rudi Garcia. Lagaknya tetap tenang, dingin, fokus, cenderung serius. Namun, pria asal Prancis itu ternyata bisa juga emosional, meledak-ledak. Usai AS Roma menang 5-0 atas Bologna, pekan lalu, Garcia ikut berteriak, melompat histeris.

Garcia memang tengah jadi primadona. Di Roma, tepatnya, nama pria berusia 49 tahun itu harum bak melati yang baru mekar. Itu lantaran Roma, klub yang dilatihnya sejak Juli lalu, tengah menjulang penampilannya. “I Giallorossi” berhasil memenangkan enam laga awal mereka di Seri A 2013/14. Ini sejarah bagi Roma, yang telah tiga kali meraih scudetto.

Tifosi pun langsung jatuh cinta kepada Garcia. Direktur Olahraga Roma, Walter Sabatini, menyebut pria kelahiran Nemours, Prancis, 20 Februari 1964 itu sebagai perpaduan Luis Enrique dan Zdenek Zeman, dua pelatih Roma terdahulu, yang sama seperti Garcia, berasal dari luar Italia. Enrique dari Spanyol, Zeman dari Republik Ceko.

Di bawah asuhan Garcia, Roma memang kembali menjanjikan. Bayang-bayang scudetto pun jadi mimpi yang tak mampu ditepis tifosi. Di tangan Garcia, tifosi mendapatkan harapan. Harapan yang nyaris sama seperti ketika “I Giallorossi” dilatih Luciano Spalletti. Bahkan, bukan tak mungkin menyamai torehan Fabio Capello, pelatih terakhir yang sukses memberi Roma scudetto, pada 2000/01.

Permainaan ofensif dengan skema 4-3-3, kembali jadi pemandangan yang kerap dimainkan pasukan “I Giallorossi”. Formasi yang juga digunakan Enrique dan Zeman.  Bagi Garcia sendiri, pola 4-3-3 bukan hal baru. Saat membawa Lille jadi juara Ligue 1 Prancis 2010/11 dia juga memainkan formasi yang sama, yang kemudian melahirkan bintang-bintang seperti Adil Rami, Yohan Cabaye, ataupun Eden Hazard.

Sepak bola menyerang memang sangat diagungkan Garcia. Namun, jangan salah. Dalam filosofinya, sepak bola menyerang juga butuh pertahanan yang bagus.  Maka itu, selain fokus menyerang, Garcia juga sangat concern terhadap pertahanan.

Sebagai perbandingan, dua musim terakhir melatih Lille, Garcia membawa klub itu mencetak jumlah gol yang sama dengan yang dicetak Roma dua musim terakhir, 131. Bedanya, Lille di bawah Garcia kebobolan jauh lebih sedikit, 79 berbanding 110 milik Roma di bawah asuhan Enrique dan Zeman.

Tak salah memang jika disebut Roma tengah berevolusi di tangan Garcia. Itu karena Roma bentukannya bisa melambung lantaran kontribusi pemain-pemain baru yang datang bersama Garcia. Sebut saja Mehdi Benatia, Adem Ljajic, Kevin Strootman, Maicon, atau Gervinho, pemain yang ikut dalam skuat Lille saat juara bersama Garcia.

Bahkan, Sembilan dari total 17 gol Roma dalam enam laga, lahir dari pemain-pemain baru di atas. Gervinho dan Ljajic mencetak tiga gol. Benatia dua gol dan Strootman mencetak satu gol.

Selain itu, bintang-bintang yang sempat terpinggirkan di era pelatih sebelumnya, juga kembali bersinar di bawah sentuhan Garcia. Lihatlah bagaimana Daniele De Rossi menemukan kembali menikmati perannya sebagai jenderal lapangan tengah. Atau  Miralem Pjanic yang kembali jadi andalan penggempur pertahanan lawan lewat lini tengah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline