Lihat ke Halaman Asli

Lahan Sawah di Kota Yogyakarta Menyusut Dua Hektar Setiap Tahun

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lahan Sawah di Kota Yogyakarta Menyusut Dua Hektar Setiap Tahun

Yogyakarta – Perkembangan pemukiman di kota Yogyakarta setiap tahun semakin marak. Hal ini menyebabkan semakin menyempitnya lahan sawah yang menjadi mata pencaharian utama para petani. Sejak tiga tahun terakhir lahan sawah di kota Yogyakarta semakin menyempit. Pemerintah daerah pun berusaha mengupayakan program-program yang dapat memaksimalkan hasil pertanian.

Menurut data yang diperoleh dari bidang pertanian Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta, jumlah lahan di Kota Yogyakarta semakin menyusut dua hektar per tahun dalam tiga tahun terakhir. Dari tahun 2009 sampai tahun 2011 lahan sawah di kota Yogyakarta mengalami penyusutan sebanyak empat hektar atau dua hektar pertahunnya. Pada tahun 2009 lahan sawah di kota Yogyakarta seluas 87 hektar, kemudian pada tahun 2010 seluas 85 hektar dan tahun 2011 seluas 83 hektar. Sementara luas lahan pertanian bukan sawah tidak mengalami penyusutan yang berarti. Jika tren ini terus berlanjut, dalam 40an tahun kedepan diprediksikan lahan sawah di kota Yogyakarta tidak akan ada lagi.

Sebenarnya ada peraturan dari provinsi yang membatasi alih fungsi lahan pertanian, namun terkecuali untuk kabupaten kota Yogyakarta. “Peraturan pemerintah di tingkat provinsi memang ada, tetapi untuk kota, tujuan awal itu untuk industri dan sektor ekonomi lainnya, bukan untuk pertanian”. Ujar bapak Martinus selaku staf bidang pertanian Disperindagkoper Kota Yogyakarta yang ditemui dikantornya (29/10). Perkotaan memang bukan basis dari produksi pertanian karena pada awalnya difokuskan untuk lahan industri. Namun masih banyak petani yang memanfaatkan lahan sawah atau pertanian untuk mata pencahariannya. Harga hasil pertanian pun juga tidak sebanding dengan pajak lahan di perkotaan. Secara menyeluruh, pertanian di perkotaan dikonsepkan untuk pertanian agribisnis. “Konsep pertanian di kota itu arahnya ke pertanian agribisnis, di beberapa wilayah untuk petani hortikultura itu ada pendampingan-pendampingan dari segi muda, bimbingan teknis dan pengembangan kawasan. Dari segi pengembangan kawasan itu direncanakan dan sudah dilaksanakan kawasan anggrek, kawasan green city yaitu pola pertanian untuk memfasilitasi atau membuat display tanaman hias terutama. Satu untuk menunjang keindahan, kedua untuk promosi dari agribisnis petani florikultura”, sambungnya.

Wilayah kota memang bukan penghasil pangan pokok. “Kota sangat kecil produksinya untuk memenuhi kebutuhan jadi sementara produksi itu tujuan utama tidak hanya bagi petani sendiri. Mengusahakan lahan yang masih ada untuk produksi padi, walaupun itu tidak mencukupi untuk kebutuhan penduduk atau warga kota. Keuntungan kota walaupun produksi kecil tapi kota menjadi tujuan dari pemasaran dari wilayah luar kota, sehingga tidak akan dikhawatirkan terjadinya kelangkaan bahan pangan”, lanjutnya. Di perkotaan juga dilakukan pemaksimalan lahan pertanian bukan sawah, seperti ladang, pekarangan atau halaman rumah. “Pekarangan atau halaman rumah itu menjadi lahan pertanian dan kebanyakan pertanian di kota mengusahakannya di pekarangan. Untuk florikultura atau tanaman hias diusahakan di pekarangan. Dari segi pertanian secara luas, lahan untuk peternakan juga di pekarangan. Kalau lahan sawah di perkotaan konsep tata ruang dan tata wilayah itu tidak ada, dan kalau masih ada itu karena petani sendiri yang mengusahakan lahan sawahnya untuk diusahakan walaupun untuk produksi kalau dijual dan nilai pajaknya itu tidak seimbang”, imbuhnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline