Berbicara mengenai kerangka dasar keilmuan, para ilmuwan selalu hadir dan tak pernah penat untuk menguras akal dalam membentuk konsep serta metode-metode demi tegaknya sebuah teori atau validitas sebuah ilmu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan keilmuan akan selalu berubah seiring perkembangannya. Teori dalam segala hal akan selalu berubah dan berkembang seiring zaman. Maka perlu paradigma sebagai kerangka mengarahkan bahkan menguji konsistensi proses keilmuan. Sehingga paradigma Ini menjadi sebuah tonggak dalam membentuk cara pandang terhadap ilmu.
Sejak masa pencerahan hingga era globalisasi ini banyak paradigma ilmu yang dikembangkan oleh ilmuan dalam menemukan sebuah ilmu atau teori. Positivisme salah satu aliran yang baginya pengetahuan tentang sesuatu yang nyata dalam rangka pemikiran yang konkrit (benar). dari hal inilah banyak ilmuan-ilmuan ternama memiliki beberapa bentuk kerangka dasar keilmuan. Mereka saling tumpang tindih, kritik-mengkritik dengan satu konsep dan konsep ilmuan yang lain. Diantaranya Francis Bacon, Jonh Mill, Karl Popper dan Thomas Khun. Dalam makalah singkat ini pemakalah akan mencoba mengkaji beberapa bentuk kerangka dasar keilmuan falsisfikasi milik Popper. Apa yang dimaksud falsisfikasi tersebut dan apa yang mempengaruhi Popper sehingga ia mencetuskan konsep tersebut? Serta juga kerelevanan terhadap urgensi kontekstualisasi dan paradigma pengembangan Falsisfikasi ini.
Namun sebelum lebih jauh membahas Falsifikasi Karl Popper. Seyogyanya pemakalah akan mengenalkan biografi dan hal yang mempengaruhi pemikirannya. Karl Popper atau nama lengkap Karl Raimund Popper ia lahir di Wina (Vienna), Austria pada 28 Juli 1902 dan wafat 17 September 1994 sekitar 28 tahun lalu. Namun pada usianya yang ke 16. Ia meninggalkan sekolah sebab baginya sekolah tak lagi seru dan masuk ke Universitas Wina. Bukan untuk belajar demi gelar melainkan hanya sekedar kuliah yang menurutnya akan menarik dan bermanfaat. Dalam perjalanannya Popper keluar dari gerakan lingkaran Wina yang sangat menjunjung tinggi positivisme. Alasan inilah yang menjadikannya keluar karena tidak sejalan dengan arah pemikirannya dan juga hal ini menjadi salah satu penyebab ia dalam mencetuskan pemikiran Falsisfikasinya sebagai kritik dan Antonim dari positivisme dan verivikasi.
Baginya teori tidak bersifat ilmiah hanya dengan dibuktikan kebenarannya akan tetapi teori itu dianggap ilmiah jika diuji dari bentuk-bentuk yang dapat menyangkalnya. Menurutnya sebuah kajian ilmu selama masih dalam bentuk hipotesa adalah tetap dalam tahap teori yang bersifat sementara. Dia beranggapan tidak ada sesuatu kebenaran yang memiliki sifat tak tergantikan. Lanjutnya bahwa sesuatu hipotesa itu dapat dikuatkan dengan menemukan bentuk teori yang baru yang mengubah konsep teori lama dan hipotesa lama yang ada. Teori memang penting namun teori tersebut bukanlah sebuah kebenaran yang tak bisa digugat. Ringkasnya bahwa suatu teori tidak bersifat ilmiah hanya karena dibuktikan kebenarannya.
Popper kagum pada apa yang ditemukan Einstein dalam mengkritiki Isaac Newton. dikenal secara umum dengan pengalamannya dijatuhi apel dan beranggapan bahwa segala sesuatu yang terlepas (jatuh) akan ditarik ke bawah oleh gaya magnet yang ada pada bumi atau dikenal gaya gravitasi, namun seiring berjalannya masa dengan realitas berbeda, teori yang dipercayai kebenarannya selama bertahun-tahun lumer dengan teori relativitas yang dikemukakan Einstein tentang mengapa balon gas tetap bebas meluncur ke angkasa dan gravitasi tak berdaya menariknya. Hal inilah yang membuktikan bahwa setiap teori dan ilmu tidak kekal kebenarannya. Bagi popper dengan ditemukan teori baru maka semakin sempurna teori yang pertama walau hanya tetap bersifat sementara atau dengan kata lain semakin disangkal dengan kesalahan suatu teori maka juga semakin kokoh teori tersebut.
Filsafat ilmu yang ditawarkan popper mengenai falsifikasi ini tentunya dalam fokus sains (ilmu) namun lebih menariknya lagi ketika pemakalah mengkontekstualisasikan ke ranah sosial kehidupan sehingga falsisfikasi ini tidak hanya menjadi pengkokoh atau penguji ilmu tapi juga bisa hadir dalam masalah-masalah sosial yang terjadi. Seorang pemimpin misalnya tidak bisa kita nilai dan apresiasi dari kebenaran yang ia lakukan melainkan pemimpin juga harus disangkal apa yang belum ia lakukan sehingga kekokohan dalam memperbaiki kinerjanya akan lebih baik. Atau dalam kemasan mie instan seringkali kita temui "kirim kritik kepada kami"dan disitu juga tercantum nomor untuk dihubungi hal ini juga termasuk dalam falsifikasi sebabnya semakin dikritik produk tersebut semakin mengubah kualitas (kokoh) produk tersebut. Atau dalam Islam kisah sahabat yang berani memberi hadiah kepada seseorang yang mengatakan kesalahan sahabat tersebut. Artinya falsifikasi popper ini adalah dalam rangka memperbaiki kualitas diri dari sudut pandang kesalahan-kesalahan yang terjadi maka popper mengatakan bahwa sesuatu yang benar secara mutlak hanyalah dogma.
Bagi Heraclitus hidup akan terus mengalir begitu juga ilmu akan terus berkembang sesuai dengan keadaan, maka selayaknya falsisfikasi hadir untuk menjadi penguji yang efektif dalam membetuk kerangka keilmuan yang kokoh. dari situlah falsifikasi ini tidak hanya menyangkut satu objek keilmuan tapi bisa untuk berbagai macam keilmuan yang terjadi dan dalam ranah sosial yang luas sehingga dari falsifikasi kita belajar bahwa kesalahan adalah pembentukan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H