[caption id="attachment_277417" align="aligncenter" width="640" caption="Foto: @Geer Kampret"][/caption]
Akan tiba saatnya, nanti ayah tak bisa bicara lagi padamu. Dengarlah!Ayah tidak mau terlambat untuk mengatakan semuanya. Tanda-tanda itu sepertinya semakin jelas terlihat. Nada dan suara ayahpun, mungkin tidak sekeras dan sejelas seperti sebelumnya.
Nanti, jangan pernah berebut apapun yang ayah tinggalkan untuk kamu adik-adikmu. Kamu harus bisa menjadi pengganti ayah. Mengawasi, memberi dan menjaga mereka seperti yang ayah lakukan untuk kalian.
Kemarin, ayah masih mendengar pertengkaran, karena giliran untuk menjaga ayah tidak kalian sepakati. Kamu tau, ayah tidak marah atau benci mendengarnya. Justru ayah sangat malu, karena sudah setua ini masih saja merepotkan kalian. Tapi ingat! Jangan pernah lakukan itu pada ibu kalian. Karena mungkin, esok atau lusa dia tidak akan sekuat seperti hari ini.
Bersabarlah dan jangan mengeluh saat mengurus ibumu. Karena dia juga tidak pernah mengeluh waktu mengurus kalian. Ayah khawatir jika nanti kalian menyesal dan terlalu terlambat untuk mencium kakinya. Bukankah sorga itu berada di telapak kaki ibu?.
***
Nanti, saat ayah tidak bisa duduk di sampingmu lagi. Buang jauh tongkat ini! Biar semua orang tau bahwa ayah dapat berlari kencang. Berdiri dengan kedua kaki tanpa bantuan tongkat sepeti ini.
Saat ayah tidak memerlukannya lagi. Simpan dengan rapi kursi roda ini! Agar semua temanmu tidak bertanya siapa yang memakainya. Ayah tidak rela jika mereka tau bahwa ayah selalu duduk di kursi roda ini, bahkan untuk berjalan di sore dan pagi haripun tidak bisa sendirian.
Berceritalah pada temanmu tentang kesibukan ayah saat bekerja. Jangan terlalu banyak bercerita tentang ayah yang harus dipapah saat menuju kamar mandi. Ayah malu mereka tau bahwa kalian mengurusku hingga separah ini.
Mungkin kamu lelah menyuapi dan memberi minum ayah. Karena tangan ini sudah tidak bisa bekerja lagi, lemas dan tidak bertenaga. Tidak manja! Ayah juga selalu mencoba untuk mengepal, namun untuk memegang sendokpun terasa seperti batu ratusan kilo.
Bukan disanjung yang ayah inginkan. Pujian dan penghormatan itu sudah pasti tidak ayah perlukan nanti. Ayah hanya ingin agar kalian merasa bangga memiliki seorang ayah. Hingga akhir hidupku nanti, akan menjadi kenangan indah untuk kalian.
***
Andai saja ayah masih kuat memukul. Tentu sudah ayah tampar kamu saat ini, kamu cengeng. Kenapa menangis dan terus meneteskan air mata? Kamu harus kuat, jangan lemah dan tak punya wibawa. Karena nanti, kamu harus menghapus air mata dan kesedihan adik-adikmu. Gantikan semua itu dengan doa-doa untukku.
Dikuburanku nanti, kamu harus tegar dan jangan memble seperti ini. Lihat ayah! Bersemangatlah, berikan ayah senyuman terbaikmu. Seperti dulu, saat kamu masih kecil. Senyuman yang selalu bangga ayah banggakan kepada semua teman ayah.
Tidak perlu khawatir dengan tulang berbungkus kulit yang kau lihat ini. Karena didalamnya masih ada ayahmu, dengan semangat dan tekad berjuang seperti dulu. Sama dan tidak akan pernah berubah. Ayah masih bersemangat untuk tetap hidup. Karena ingin melihat dan menimang cucu darimu. Pasti tidak akan jauh berbeda sepertimu waktu kecil.
Hanya saja, mungkin tubuh ini tidak sekuat jiwa didalamnya. Mungkin tangan dan kaki ini sudah lelah. Jantung ini mungkin perlu beristirahat. Hingga nanti ketika nafaspun sudah tah sanggup lagi ayah lakukan, biarkan mereka semua beristirahat untuk selamanya.
***0***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H