Terlalu lama rasanya kekayaan itu diam tak bicara, karena tersembunyi atau disembunyikan. Yang jelas, hamparan emas tembaga yang terpendam telah banyak menyimpan persoalan. Tentang harta, tentang kuasa dan perebutan otoritas yang sejak lama menjadi sengketa.
Di tanah ini, mereka yang tak kami kenal hidup dengan mata yag bersinar terang. Di ladang yang sama ini mereka menancapkan peralatan berat yang tak kami mengerti cara membuatnya. Mereka terlalu aneh. Tidak sama dengan sumpit dan koteka yang kami kenakan.
Burung cendrawasih yang terusik, takut akan bisingnya burung besi yang berterbangan. Suasana semakin hingar bingar ketika Robot pengeruk tanah itu dinyalakan. Kami harus lari kemana? Pada siapa kami harus mengadu? Sementara mereka yang mewakili kami sudah terasa tidak aspiratif lagi.
Entahlah! Mereka buta atau sengaja menutup mata. Bahkan kami curiga mereka sengaja tuli saja. Ketika kami mengerang dengan segala yang terasa saat ini. Tentang keamanan, terhadap kesejahteraan. Sepertinya semakin jauh untuk kami raih. Mereka seakan terbang bersama emas dan tembaga yang dikeruk di tanah kami ini.
Sejak 1971, Suku Amugne adalah saksi perubahan Erstberg. Mengawali kepindahan penduduk asli ke kaki gunung. Pantaskah kami mendapat perlakuan seperti itu? Apa yang kami dapatkan setelahnya? Adalah kelanjutan yang berkepanjangan. Karena limbah yang di buang di sisi pegunungan itu, telah menjadikan tanah kami tidak layak bagi kehidupan mahluk hidup.
1989 tragedi terulang, ketika Erstberg sisakan keruskan. Grasberg kembali di gelar, sebagai keadaan yang sama seperti sebelumnya. Pengerukan, pengrusakan yang sisakan musnahnya kehidupan. Tanpa kami menghitung, berapa banyak emas yang mereka sebut tembaga itu dibawa.
Saat ini, terjangan peluru. Hembusan nafas para korban penembakan sekan kembali merobek luka yang lama. Karena telah puluhan hingga ratusan orang mati terbunuh. Sejak lama itu terjadi, di sekitar tempat tinggal kami yang telah disulap menjadi tambang.
Bukan adakadabra, bukan pula mantra untuk mewujudkan tambang emas terbesar di dunia itu. bukan pula mantra untuk menjadikan tambang tembaga terbesar ketiga di dunia itu. Karena semua harus ditebus oleh kecemasan, ketakutan dan nyawa yang hilang begitu saja. Seakan tanpa jejak.
Sejak sekian lama pengerukan kekayaan kekayaan alam itu dilakukan. Sejak itupula terjadi begitu banyak ketakutan, diantara kami yang berada di tanah kelahiran ini. Sungguh menakutkan ketika kami mengetahui semua sisakan kerusakan yang maha dahsyat. Sangat besar, bahkan tak ada bandingannya lagi.
Pada saat itu pula, ketakutan kami atas konflik yang terjadi ini begitu terasa. Bahkan seorang penjaga warung saja yang jauh dari kelayakan sebagai penghuni tanah emas itu tertembak mati. Dia tidak tahu menahu tentang emas dan tembaga. Dia tidak pula menggengam uang dan perhiasan di tangannya. Tapi kenapa moncong senjata itu mengarah kepadanya? Hingga dia mati terkapar bersimbah darah.
Sejujurnya, kami cinta tanah ini. Kami juga bangga dengan apa yang kami miliki di tanah ini. Namun, kecintaan kami tidak hanya sebatas emas dan tembaga yang tersimpan di tanah ini. Kami hanya ingin hidup dan menjalani kehidupan seperti semula saja.
Seandainya kami bisa, bahkan kami akan berdoa untuk menghilangkan semua kekayaan yang ada di tanah ini. Karena bagaimanapun juga, keadaan sekarang sungguh tidak terbanding dengan apa yang seharusnya kami rasakan.
Tanah emas dan pertumpahan darah, seakan melekat di hati kami. Begitu memilukan ketika harus kami hadapi hari demi hari penuh dengan kecemasan. Dan lebih menakutkan lagi ketika kami sadari. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Kompas.com"] [/caption]
***O***
Sumber gambar : Disini
Amugne : Salah satu Suku di papua
Grasberg dan Erstberg : Nama tambang di papua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H