Lihat ke Halaman Asli

R_82

TERVERIFIKASI

Adalah seseorang yang hidup, menghidupi dan di hidupkan OlehNya. Begitupun dengan kematian dan semua diantaranya. tanpa terkecuali.

Payung Rombeng dan Perempuan Tua

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi nenek tua dan payungnya (google)

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi nenek tua dan payungnya (google)"] [/caption]

Malam menjelang, gerimis mulai berjatuhan. Seketika itupun payang itu segera di buka perlahan. Naas sang pejalan kaki itu, karna payungnya terlalu kecil. Hingga masih saja ia terkena rintik hujan. Sang Pejalan kaki mulai berteduh dalam rindangnya pohon beringin. Dia berdiri mematung. Menunggu hujan reda yang entah kapan.

Dua batang rokok dihisapnya, namun hujan tak juga berhenti. Hingga perempuan tua itu menghampiri. Ditangannya sebuah payung dipegang erat namun tertutup. Terlihat beberapa tambalan di ujungnya, lengkap dengan sobekan hampir sekelilingnya.

Ketika ditanya, si nenek berkata perlahan. Bahwa payungnya tak bisa digunakan lagi. Karena payung itu baru saja dia pungut dari puing-puing reruntuhan payung yang sangat besar. Dan ketika di buka, begitu tersentak pejalan kaki itu. Melihat payung yang tak utuh lagi. Sobekan dan tambalan itu seakan sisa sunami yang dahsyat. Hingga perlindungan nyaris tidak akan diperoleh sedikitpun.

****

Dari obrolan keduanya, kisah payung itu mulai diceritakan. Sejak dulu, payung itu telah mencoba melindungi sebelas anak bangsa. Yang berlaga dalam gelora semangat yang membara. Hingga keringat mengalir bercucuran. Deras namun tak di rasa semuanya. Karena mereka berada dalam pertaruhan yang maha besar. Membela harga diri dan kehormatan.

Sebelumnya, payung itu selalu lebar terpasang menyerupai sayap yang sangat lebar, siap membawa sebelas anak bangsa itu terbang mengangkasa. Menelusuri luasnya dunia. Mengarungi samudra lepas dengan ketinggian yang membanggakan. Sorak gembira dan tepuk tangan membahana. Mengiringi mereka dengan senyum lebar yang terpasang. Penuh kebanggan.

Pertama kali dibuat, payung itu mengantarkan mereka pada dunia yang sangat luas. Hingga kebanggan itu bersinar terang dengan cahaya dan warna pribadinya. Putih suci dengan keberanian yang merah terpancar. Lambang kebanggan yang melekat erat di dadanya. Menyatu dalam jiwa. Mengakar dalam urat nadinya.

Payung itu telah melindungi dari teriknya matahari. Dari dinginnya air hujan. Bahkan melindungi ketika badai topan yang menerjang. Payung itu tetap kokoh bak cengkraman garuda yang perkasa. Tak akan goyah dalam persatuan dan kesatuan dihatinya. Membara, membakar semua rintangan yang dihadapi.

****

Suatu ketika, badai itu tak lagi berupa topan. Bencana itu tak seganas banjir bandang. Karena badai baru itu berupa bencana haus yang melanda, kering kerontang. Kemarau yang berkepanjangan. Semilir angin menip pelan, namun menusuk jantung dan kekuatan pertahanan. Hingga keropos semua tulang dan tiang penyangganya. Payung itu mulai nanar melihat sebelas anak bangsa, yang terkulai tak bergairah lagi.

Badai itu adalah topan kekuasaan. Perseteruan diantara para pemegang payung, hingga martabat mereka menjadi prioritas yang diutamakan. Mengusung harga diri, menyuarakan anak bangsa, namun kehancuran yang diperbuat.Tak lagi nyaman payung itu. Oleng dan miring seakan hendak ambruk seketika, dengan tiang yang mulai lemas menahan beban, tidak kokoh seperti sebelumnya.

Badai itu berupa cambuk, bencana itu berupa rantai dan gada. Saling menerjang diantara perlindungan yang tak lagi utuh, kotor dalam niatan yang tak jelas lagi. Sobekan itu berbalas tambalan, namun hancur lagi di bagian yang lainya. Lubang itu tak mampu lagi menahan air dan panasnya matahari.

Sebelas anak bangsa berhamburan. Mencari perlindungan yang entah ada dimana. Saat hujan mulai menerjangnya. Saat angin topan mulai menyapanya. Mereka menggigil dalam sudut pertokoan. Mereka kedinginan dibawah reruntuhan bangunan. Tuk sekedar mendapat perlindungan seadanya.

Suatu ketika, mereka kepanasan dalam teriknya matahari. Keringat yang bercucuran dari mereka, yang berjuang pertaruhkan harga dirinya. Cepat sekali mengering, dengan aroma mistis yang sangat kuat. Karena tersiar kabar di negeri itu sekarang, banyak mahluk kotor yang haus akan keringat. Dahaga mereka seakan tak tertandingi, hingga meminum darah menjadi pelampiasan.

****

Ditengah kecemasan diantara mereka. Anak bangsa yang tak lagi memiliki perlindungan. Datanglah perempuan tua dengan tangis lirih yang mendalam. Dia memberikan sebuah daun pisang. Pengganti payung, tuk sekedar melindungi dari derasnya hujan. Dia berkata “Pakailah ini nak! Seandainya aku punya payung yang besar. Pasti aku akan memberikannya untuk kalian”

Nenek tua itu mengambil dan membawa puing puing payung yang berhamburan. Di belakang rumahnya ia menanam bongkahan payung itu. Merawatnya dan menyiramnya setiap hari. Dia berkata dalam hatinya, sesaat setelah mengusap tetesan ari mata di pipinya “Semoga payung ini akan tumbuh kembali menjadi payung yang besar. Untuk melindungi cucuku yang kini berada dalam kegelisahan”

***O***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline