Lihat ke Halaman Asli

Wanitaku

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menyeka keringat dengan ujung baju olahragaku, sore ini langit terlihat lebih pekat dari hari-hari sebelumnya. Mendung menggelayut angkuh di beberapa sisi, senjapun enggan berdandan, begitu pucat. membuat suasana sore ini terasa seperti di film-film horor, atau ah hanya perasaanku saja.

Dengan gontai ku langkahkan kakiku kerumah, aku lebih bahagia, lebih lebih dan lebih merasa sanggup bernafas lega dimanapun, asal tak di rumah, menatap wajah ibu dan kakak ku membuatku sulit bernafas, bahkan untuk menghembuskan nafas dadaku sesak, sakit.

Yah, mungkin sedikit kasar, tapi itulah nyatanya. Lingkunganku, keluargaku hancur. Urat kemaluan mereka sepertinya sudah di putus oleh tuhan. Air langit akhirnya turun, aku tidak berlari, menengadahkan kepala untuk menatap hujan, menerima tetes demi tetesnya, membiarkannya mengguyurku, biarkan.. biarkan sesakku mereka basuh, sehingga borok-borok di hatiku sedikit berkurang.

==

Semakin malam semakin ramai, seperti itulah tempat tinggalku, dengan beberapa lelaki asing yang biasa ku sebut lelaki hidung belang di beberapa sudut kampung, sedang bernegoisasi kepada makelar si ‘kupu-kupu malam’, dan aku tau apa yang sedang mereka bicarakan.

Akhirnya kakiku sampai di depan rumah, seperti biasa banyak sekali gadis-gadis nakal berpakaian minim menyapaku

“Bayu.. gantengnyaa..“ ih, suara mereka terdengar manja, aku jijik mendengarnya.

“nak, setelah ini lekas mandi yaa, ibu sudah siapkan makanan, panaskan dulu..” ibu hanya sempat berucap singkat, setelah itu pergi bersama lelaki yang entah siapa lagi. Di ruang tamu, kakak ku berbuat hal yang seharusnya tak pantas ku lihat, entah apa yang terjadi dengan semua orang disini, mereka hanya menganggap itu semua hanya permainan dan sumber penghasilan.

Banyaaak sekali janin yang belum sempat menatap dunia terbuang, layaknya sampah. Bahkan janin yang belum ditiupkan ruh oleh sang kuasa. Hampir setiap hari ada saja gumpalan daging yang terbungkus koran atau kain tipis di pinggir-pinggir jalan kumuh.

Aku ingin pergi, aku ingin menghilang, tapi tak mampu. Aku sungguh menyayangi kakak dan ibuku melebihi apapun, sungguh. Namun mereka seakan tak peduli dengan kegelisahanku, berulang kaliii ku ajak mereka pergi dari sini, dari tempat kumuh dan penuh nista ini, namun apa tanggapan mereka? Nihil. Kedua wanitaku menolak dengan alasan yang sungguh membuatku ingin menjerit frustasi,

“apasih bay? Biasa aja kalii.. bukannya malah enak banyak cewek cantik disiini?” jawab kakak ku kala itu, aku hanya mendengus kesal. Ku jawab saja dengan cuek,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline