Lihat ke Halaman Asli

Ketika Bertelanjang, Ku Lihat Ia Onani

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_76349" align="alignright" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Sesuatu yang tak berpakaian maka dinamakan telanjang, pakaian rambut perempuan dalam islam adalah jilbab, pakaian kaki tentu sandal/sepatu, dan andai tak pake baju maka kita katakan bertelanjang dada. Sementara kata “onani” kutegaskan ini bukan soal “onani” yang familiar didefenisikan. “Onani” dalam kamusku adalah sesuatu yang “terpaksa/dipaksa” kita lakukan, meskipun dipandang sebagai sesuatu yang di luar norma. Demikian terjemahan menurut otak kananku.

Merujuk terjemahan tsb, ada fenomena mengganjal yang ingin ku diskusikan bersamamu Sobat. Apapun profesi/aktivitasmu sekarang Sobat, jujur, bahwa banyak kita temukan kasus yang melakukan “onani”, rekan kita, keluarga, bahkan mungkin kita sendiri, parahnya lagi, “mungkin” ada sebagian kita yang kilaf memaksa orang lain “onani”. Sore itu, di atas KA super ekonomis Bogor – Jakarta, penumpang meluah, sampai atapnya menjadi nyaman buat tamasya. Aku, adalah salah seorang keluarga besar di gerbong itu. Berdiri, tentu lumrah, penat jangan kau tanya Sobat, rutinitas khan membuatmu menjadi nyaman. Betapa tidak, tak perlu black bery, toh alunan musik datang silih berganti, Giant, Ramayana, Matahari, atau Pasar Senen sekali pun, sudah terwakili, karna disini apa pun ada. Dikerumunan pesta tersebut, aku melihat sosok bocah, bertelanjang kaki yang dikaloborasi dengan baju tanpa pakaian di dada. Kecil, kurus, legam. Ibu yang lagi menggendong si buah hati dihampiri, tanpa permisi, dengan mata telanjang, ku lihat ia manjamah kantong belanjaan si ibu. Cepat dan sangat perfect ia meraih sesuatu, lalu berlalu, di stasiun perhentian si Ibu turun. Marsinis kembali bekerja dan aku masih terpana menoleh ke si Ibu seiring dengan laju kereta. Pikiranku melayang, ini kah hidup atau ini kah Indonesia, dengan begitu sistimatis ia memaksa kita “onani”. Jelas, kitab kuno UUD 45 menyatakan bahwa mereka dipelihara oleh negara, dan Islam pun telah mewadahi mereka dengan zakat. Deruan kereta belum menlenyapkan pikiranku, kemanakah umara dan ulamaku. Sobat, maaf aku hanya melongo waktu tragedi itu, salah kah aku ?, atau salah kah si bocah yang bertelanjang dada tadi, atau mungkin si Ibu yang salah ? Dilematis bagiku tuk men-judge-nya, toh persoalan “onani” juga menjamur di radius kita. Di kelas siswa menjadi ahli tuk mencontek, karena disisi lain si guru menyuguhkan soal sangat text book dan menilai si anak setara intelektualnya. Di kantor, menerima uang tanpa yang tak tahu rimba namun mesti tanda tangan rangkap enam, menjadikan simalakama. Di pasar pun, untung dua kali lipat dari modal juga terkadang dilakukan karena si pembeli kelewat bodoh. Bolehkah itu kunamakan juga dengan “onani” Sobat, atau setidaknya penguat alasanku bahwa si bocah belum tentu lebih nista dari kita. Bung Ebit, masihkah kita pantas menanyakan pada rumput yang dilahap HPH ? Salam,




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline