Lihat ke Halaman Asli

Ronald Wan

TERVERIFIKASI

Pemerhati Ekonomi dan Teknologi

Krisis 1998, Stabilitas Sistem Keuangan dan Kebijakan Makroprudensial

Diperbarui: 25 Juni 2019   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Suatu hari di sebuah supermarket di Jakarta Barat pada pertengahan 1997. Tidak seperti biasanya, banyak sekali pelanggan berbondong-bondong memborong barang. Begitu banyaknya orang yang masuk sehingga manajemen terpaksa melakukan buka tutup toko untuk menjaga agar situasi tetap kondusif.

Semua produk susu bersih tak bersisa. Mie instan sampai yang berharga premium habis diborong. Barang-barang lain juga diborong, stok yang seharusnya bisa bertahan 2 minggu sampai 1 bulan habis di hari itu.

Itulah sekilas pengalaman saya menjadi pengurus supermarket ketika terjadi panic buying pada tahun 1997, akibat kurs dolar AS terhadap rupiah yang melonjak ratusan persen. Masyarakat panik dan langsung memborong barang-barang kebutuhan pokok terutama produk untuk bayi.

Krisis ekonomi Indonesia dimulai dan terus berkembang menjadi krisis politik serta keamanan. Kerusuhan Mei 1998 adalah puncak dan kejatuhan Soeharto menjadi awal dari era reformasi.

Pelajaran

Krisis ekonomi 1998 memberikan pelajaran kepada Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam mengembangkan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang baik, namun di sisi lain stabilitas sistem ekonomi adalah hal yang juga tak kalah penting.

Butuh sekitar 10 tahun sejak 1998 bagi Indonesia untuk benar-benar keluar dari krisis. Ditambah utang ke IMF sebesar USD 43 miliar selain BLBI yang berjumlah puluhan triliun rupiah adalah ongkos yang harus dibayar. Belum lagi ongkos sosial yang terkadang sulit untuk bisa dirupiahkan.

Pengawasan bank yang lemah, menyebabkan banyak bank termasuk bank pemerintah tidak melakukan manajemen yang prudensial (bijak) dalam mengelola dana masyarakat. Bank yang dimiliki konglomerat pada masa itu diduga banyak menyalurkan kredit ke perusahaan afiliasi (pemilik sama) yang berpotensi diberikan tanpa melakukan analisa yang mendalam sehingga kemungkinan besar bisa menjadi kredit bermasalah.

Pengawasan lemah dan manajemen yang tidak bijak bermuara pada banyaknya bank yang kolaps saat krisis 1998. 16 bank harus ditutup dan banyak bank yang akhirnya harus masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Belum lagi utang luar negeri swasta yang berpenghasilan rupiah diambil tanpa melakukan lindung nilai (hedging) kurs. Sehingga ketika kurs dolar AS terbang ratusan persen maka utang tersebut tak mampu lagi dibayar.

Hal-hal di atas adalah sebuah pelajaran yang harus dibayar mahal.

Perbaikan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline