Shale oil atau minyak serpih dalam bahasa Indonesia, adalah batuan sedimen berbutir halus yang mengandung kerogen(campuran bahan-bahan kimia organik) yang setelah melalui proses pyrolysis, hydrogenation, atau thermal dissolution (ketiga proses ini menggunakan prinsip pemanasan) berubah menjadi minyak sintetis atau gas. Atau secara sederhana bebatuan yang ditambang dipanaskan untuk diubah menjadi minyak atau gas.
Shale oil sendiri sudah mulai digunakan sejak abad ke 14 di Swiss dan Austria. Di Italia shale oil sempat digunakan untuk bahan bakar lampu penerangan di kota Modena pada abad ke 17. Kerajaan Inggris mengeluarkan paten untuk teknologi pengolahan bebatuan menjadi minyak dan aspal pada tahun 1664.
Industri pengolahan modern untuk Shale oil baru dimulai sekitar tahun 1830 di Perancis dan sekitar tahun 1840 di Scotlandia. Pada masa ini shale oil digunakan sebagai bahan bakar, pelumas dan minyak lampu untuk menggantikan minyak ikan paus yang semakin mahal harganya.
Pada abad ke 19 industri pengolahan shale oil mulai berkembang. Pabrik mulai didirikan di Amerika Serikat, Australia, Brazil. China, Estonia, New Zealand, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia dan Swiss mulai memproduksi shale oil di awal abad ke 20.
Penemuan sumber minyak bumi di Timur Tengah pada pertengahan abad ke 20, membuat industri ini mati suri. Peningkatan harga minyak ke lebih dari USD 100 pada awal abad ke 21 membangunkan industri pengolahan shale oil.
Teknologi pengolahan shale oil yang pada awalnya mahal dan dengan ditemukannya minyak bumi di Timur Tengah yang jauh lebih murah membuat orang malas untuk mengembangkannya. Minyak bumi tidak memerlukan proses tambahan, karena begitu keluar dari perut bumi sudah berbentuk cairan. Kemudian setelah diolah di kilang minyak akan menghasilkan bensin, minyak tanah, solar, avtur (bahan bakar pesawat), pelumas dan yang lainnya.
Pada awal abad ke 21 harga minyak bumi terus menerus melambung tinggi, sampai pernah mencapai hampir USD 156 di tahun 2008. Biaya penambangan dan pengolahan shale oil pada masa itu adalah sekitar USD 95 dan dengan harga minyak bumi yang melambung di atas USD 100, membuat shale oil sangat menarik untuk dikembangkan.
Potensi cadangan shale oil di dunia mencapai sekitar 2,8 sampai 3,3 triliun barrel, dengan cadangan terbesar terdapat di Amerika Serikat (AS). Dengan potensi ini dan harga minyak yang tinggi. Membuat AS yang merupakan salah satu negara pengguna minyak bumi terbesar di dunia. Mulai mengembangkan teknologi penambangan dan pengolahan Shale oil.
Harga minyak bumi melambung naik juga disebabkan oleh asumsi bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi semua cadangan minyak bumi habis dikonsumsi. Asumsi ini terbantahkan dengan masih banyaknya cadangan Shale oil.
Ditunjang oleh harga yang tinggi semua perusahaan minyak bumi berlomba-lomba menyedot dan menjual minyak bumi. Dengan ditambah semakin turunnya biaya produksi shale oil membuat harga perlahan-lahan jatuh. Dan mencapai titik terendahnya di bawah USD 50.
Harga minyak bumi yang jatuh, menyebabkan beberapa negara penghasil minyak dan komoditas tambang mengalami masalah termasuk Indonesia. Harga minyak ini juga mempengaruhi harga-harga komoditas pengganti minyak seperti batu bara. Selain itu juga ternyata mempengaruhi harga komoditas lain seperti minyak sawit (jika diolah lebih lanjut bisa menjadi bahan bakar). Dua komoditas ini adalah andalan Indonesia dalam menghasilkan devisa melalui ekspor.