Lihat ke Halaman Asli

"Wela Rana" dan Ajakan Kembali ke Alam

Diperbarui: 24 Mei 2022   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di'a keta lemot woko lelo pu'un
Majak keta mata woko lelo panga'n
Le saung keta tambang nau'n
........
........
Wela rana
Wela rana
Ngasang ne

Kata-kata ini saya ambil kutip dari sebuah lagu Manggarai yang viral baru-baru ini. Lagu ini sudah diputar ribuan kali di youtube. Ada beberapa hal menarik yang bisa dijumpai dalam lagu ini: kekhasan suara penyanyinya, musik gendangnya, tarian, juga tentu saja: bahasa lagunya.

Pertama kali diputar, lagu ini membuat saya terkagum-kagum. Saya kagum pada pencipta lirik, kepada penyanyi, juga kepada cara mereka berimajinasi membuat koreografi lagunya. Itu keren!!!

Bagaimana saya tidak kagum?
Pencipta lirik, penyanyi, dan pengaransemen lagunya adalah anak-anak milenial. Mereka yang baru lahir tahun 2000-an tetapi sanggup menghidupkan kosa kata Lawas "Wela Rana" dalam paduan lirik yang sempurna.

Wela rana adalah sebutan untuk tumbuhan yang baru pertama kali berbunga. Saya yakin, ada di antara kita yang belum pernah menyaksikan tumhuhan "wela rana". Melihat tumbuhan "wela rana", kita seperti diajak untuk melihat pelangi di sela rintik hujan. Memukau mata. Keindahan itu hanya kita dapatkan di alam. Lalu bagaimana kalau kita tidak lagi melihat alam sebagai saudara? Tentu cerita tentang "wela rana" hanya dongeng pengantar tidur bagi anak cucu, kelak.

Ajakan Kembali ke Alam

Bukan itu saja. Lagu ini bukan sekedar musik nirmakna. Ada yang paling menggugah di sini. Ada ajakan implisit untuk kembali mengakrabi alam.

/Dia keta lemot woko lelo pu'un/
/Majak keta mata woko lelo panga'n/
/Le saung keta tambang naun/

Betapa kita yang kekinian sudah jarang lagi melihat pohon kayu yang rimbun dengan wela rana-nya. Kita lebih sering takjub melihat gambar pohon di google. Kita jarang melihat langsung wela rana pada pohon yang nyata, di lupi ngampang.

Kita semua beruntung memiliki generasi peduli seperti mereka ini. Bahwa di tengah kepungan modernitas dan lindasan kemajuan IT, mereka masih mau 'berkotor ria' memungut kosa kata lawas dan memolesnya dalam sebuah lagu.

Sungguh seni itu menggugah. Lagu ini adalah contohnya. Lagu ini menggugah masyarakat lewat lirik dan musiknya. Liriknya menyentuh, musiknya milenial, koreografinya asyik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline