Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Sebaiknya RUU Keistimewaan DIY Dibahas?

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keterbukaan

Melalui Rapat Paripurna DPR, Jumat 17 Desember 2010, Ketua DPR Marzuki Alie mengkonfirmasi bahwa Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) telah diterima DPR dari Pemerintah. Ditargetkan, pada masa sidang mendatang, yang rencananya akan dimulai pada 10 Januari 2011, RUUK DIY sudah bisa dibahas bersama.

Ketua DPR sempat menyatakan bahwa DPR akan membahas RUUK DIY secara hati-hati dengan memperhatikan masukan dan aspirasi masyarakat. Memang begitulah seharusnya DPR bertindak. Ada prinsip-prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh DPR dan Pemerintah dalam membentuk undang-undang. Saat membahas rancangan undang-undang, yang "forum"nya berada di DPR, tentu ada sejumlah kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang.

Sebagai contoh, Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memuat asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah asas keterbukaan. Dalam penjelasannya, asas keterbukaan diartikan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.  Sejalan dengan penegakan prinsip keterbukaan, Pasal 200 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 240 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa setiap rapat DPR bersifat terbuka, kecuali dinyatakan tertutup.

Sayangnya, Pasal 200 dan Pasal 240 ayat (1) tidak mengatur alasan atau kriteria suatu rapat dilakukan tertutup, termasuk bagaimana status dokumen yang dipersiapkan, dibahas, dan beredar selama rapat tertutup berlangsung. Ini mengkhawatirkan karena bisa saja nanti DPR (memutuskan) menyelenggarakan rapat-rapat yang tertutup.

Sebagai perwujudan hak masyarakat terhadap informasi proses legislasi, undang-undang dan tata tertib seharusnya mengatur kesempatan bagi publik (khususnya pemangku kepentingan RUUK DIY) untuk memperoleh akses terhadap dokumen dimaksud. Pimpinan, dibantu sekretariat alat kelengkapan, harus menyampaikan kepada publik proses dan kesepakatan yang dicapai melalui rapat yang dilakukan secara tertutup. Ini salah satu upaya agar setiap  pengambilan keputusan di DPR berjalan akuntabel dan tersosialisasikan.

Sudah pernah ada presedennya, yaitu saat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (sekarang menjadi UU No 10 Tahun 2008) menjadwalkan (secara reguler) pertemuan dengan wartawan media cetak dan elektronik setelah rapat Panja berakhir. Pimpinan Panja kemudian menyampaikan kepada para wartawan tentang perkembangan pembahasan RUU dimaksud, termasuk dokumen terkait, sehingga secara tidak langsung, masyarakat pun bisa mengetahui apa yang sedang dibahas dan capaiannya. Namun disayangkan, pertemuan dengan kalangan pers tersebut tidak bertahan lama. Mereka kemudian (mengalihkannya dengan) menerbitkan siaran pers (tertulis) tanpa ada pertemuan hingga akhirnya tidak ada kelanjutan sama sekali, alias berhenti.

Kanalisasi Aspirasi

Pembahasan RUUK DIY memiliki karakter yang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan pembahasan RUU lainnya. DPR "berhadap-hadapan" lebih kentara dengan dinamika di luar sana, yakni rakyat Yogyakarta. Situasi yang hampir sama terjadi pula saat pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi). Gelombang respon yang ditunjukan publik saat itu begitu besar.

DPR perlu menyediakan saluran agar respon rakyat Yogyakarta tidak longsor dan salah arah, atau bahkan bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari sebuah kondisi ketidakpastian. Audiensi dengan berbagai komponen masyarakat Yogyakarta, yang merepresentasikan beragam pandangan dan kepentingan mutlak dilakukan. Tidak sekedar selesai di Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), tapi juga tersedia kesempatan pada saat pembahasan materi RUUK DIY, setidaknya melalui serangkaian konfirmasi dan pengujian.

Gelombang tuntutan masyarakat Yogyakarta yang semakin deras pada akhirnya akan memposisikan Pemerintah dan DPR berpacu dengan waktu. Perlu cara agar pembahasan materi RUUK DIY berlangsung efektif dan tidak mengkonsumsi waktu yang terlampu banyak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline