Lihat ke Halaman Asli

Desain Ulang Studi Banding

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1289588836548135365

Usulan moratorium studi banding yang disampaikan oleh Fraksi PAN pada saat Rapat Paripurna DPR 26 Oktober 2010, yang kemudian belakangan diikuti pula oleh beberapa partai (PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB) patut diapresiasi. Namun moratorium dimaksud seharusnya tidak sekedar respon solidaritas dan berhenti pada ekspresi sikap simpati terhadap korban bencana alam Gunung Merapi dan tsunami Mentawai. [caption id="attachment_75009" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Tanpa moratorium atau seandainya moratorium (akhirnya) berjalan, (kegiatan) studi banding harus tetap dievaluasi, bahkan perlu ada desain ulang supaya lebih transparan, efektif, dan akuntabel. Desain ulang dimaksud pertama-tama mengarah kepada aspek perencanaan dan penganggaran. Kekurangan dari ketentuan Pasal 143 Peraturan Tata Tertib DPR yang mengatur tentang kunjungan ke luar negeri (dalam hal ini studi banding) adalah tidak tersedianya perintah dan mekanisme yang memungkinkan rencana studi banding dapat diketahui oleh seluruh anggota DPR dan masyarakat. Bahkan dalam setiap jadwal kegiatan masa sidang DPR -yang biasanya ditetapkan melalui forum Badan Musyawarah (Bamus)- pun tidak muncul. Selanjutnya, yang harus dibenahi juga adalah sistem penganggaran legislasi, supaya tidak dengan gampang bisa dilakukan penyiasatan agar setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) harus ada studi banding. Selain itu, penggunaan anggaran studi banding adalah at cost, bukan lumpsum. Adanya perubahan dari lumpsum ke at cost setidaknya akan membuat anggota DPR tidak bisa memanfaatkan anggaran studi banding untuk main-main, plesiran, atau bisa diakalin. Usulan kegiatan studi banding disampaikan saat penyiapan awal naskah akademik suatu RUU karena output studi banding itu seharusnya muncul di dokumen naskah akademik RUU. Dengan demikian, jika ada penyelenggaraan studi banding di penghujung pembahasan RUU, itu tidak tepat dan tidak dibutuhkan lagi. Terakhir adalah menciptakan mekanisme penyusunan dan penyampaian laporan (hasil) studi banding kepada alat kelengkapan dan masyarakat. Kesadaran mengenai penyediaan laporan (hasil) studi banding anggota DPR periode 2009-2014 masih sangat minim dan tidak lebih baik dari periode sebelumnya. Baru Panja RUU Hortikultura (Komisi IV) yang telah menyusun laporan hasil kunjungan kerja ke Selandia Baru (17 s/d 23 Agustus 2010) dan Belanda (14 s/d 19 September 2010). Itu pun antara laporan ke Selandia Baru berbeda format, muatan, kedalaman informasi dengan yang ke Belanda yang hanya terdiri atas 2 (dua) halaman. Yang pasti, keduanya juga tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kaitan antara temuan dan hasil telaah selama studi banding dengan capaian terakhir substansi RUU Hortikultura. Lantas bagaimana hasil studi banding lainnya seperti Panja RUU Cagar Budaya ke Turki dan Belanda, Panja RUU Grasi ke Belanda dan Selandia Baru, Panja RUU Kepramukaan ke Korea Selatan, Jepang, dan Afrika Selatan, atau Panja RUU Keimigrasian ke Inggris dan Kanada? Ternyata sampai sekarang tidak diketahui hasilnya seperti apa dan sejauh mana sudah diolah atau entah sudah diapakan. Seluruh ketentuan Pasal 143 Peraturan Tata Tertib DPR tidak mengatur dan memerintahkan penyusunan dan publikasi laporan hasil studi banding. Akibatnya prinsip akuntabilitas jadi terabaikan. Namun, Peraturan Tata Tertib DPR sendiri sebenarnya masih membuka peluang adanya kewajiban (minimalis) yang ditujukan kepada Pimpinan DPR untuk menyampaikan keterangan pers berkaitan dengan kegiatan DPR (termasuk alat kelengkapan yang melakukan studi banding) paling sedikit 1 (satu) kali 1 (satu) minggu dalam masa sidang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) huruf a. Di sini, seharusnya Pimpinan DPR mengambil peran dan sebagian tanggung jawab untuk menginformasikan kepada publik perihal rencana studi banding dan hasil yang diperoleh, sehingga ketidaktahuan publik relatif bisa dijawab, meskipun kewajiban utama tetap ada pada alat kelengkapan yang melakukan studi banding tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline