Lihat ke Halaman Asli

Menghadirkan Proses Legislasi yang Transparan

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada sebuah kesempatan konferensi pers 7 Oktober 2009, Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan bahwa DPR akan segera menyusun Rencana Strategis (Renstra), sehingga ke depan kinerja DPR dapat lebih terarah, terukur, dan sistematis. Tidak hanya itu, Marzuki berharap DPR ke depan harus bekerja lebih transparan, terutama terkait dengan proses legislasi. Menurutnya, proses legislasi yang transparan harus segera dilakukan karena banyak pendapat yang simpang siur mengenai proses pembahasan legislasi.

Tidak ada yang terlalu istimewa dari pernyataan Marzuki Alie, selain menunjukan komitmen seseorang yang akan memimpin DPR selama kurang lebih lima tahun. Itu pun dengan catatan, tidak ada suatu kejadian atau peristiwa luar biasa yang memungkinkan mekanisme pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR berlaku.  

Mewujudkan proses legislasi yang transparan dimulai dari aturan main yang melandasinya. Keberadaan Tata Tertib DPR sebagai instrumen pengaturan lanjutan setelah UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU MD3), harus diformulasikan responsif dan sejalan dengan keinginan untuk menampilkan wajah DPR yang aspiratif, transparan, dan akuntabel. Perlu diingat bahwa Pasal 206 ayat (3) UU MD3 hanya mengatur materi minimum tata tertib. Dalam artian, sangat terbuka peluang bagi DPR untuk menambahkan beberapa aturan sebagai terobosan dan bervisi progresif.

Sebagai perwujudan hak publik terhadap informasi proses legislasi, tata tertib seharusnya mengatur kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh akses terhadap dokumen dimaksud. Selain itu, pimpinan, dibantu sekretariat alat kelengkapan, harus menyampaikan kepada publik, proses dan kesepakatan yang dicapai melalui rapat yang dilakukan secara tertutup. Ini salah satu upaya agar setiap pengambilan keputusan di DPR berjalan akuntabel dan tersosialisasikan.

Menyangkut proses legislasi yang transparan, pernyataan Marzuki Alie akan jauh lebih konkret manakala dia mengkritik pengaturan soal sifat rapat DPR dalam Tata Tertib DPR yang dihasilkan oleh Panitia Khusus (Pansus) Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPR. Sejalan dengan Pasal 200 UU MD3, Pasal 240 Tata Tertib menyatakan bahwa setiap rapat DPR bersifat terbuka, kecuali dinyatakan tertutup (ayat 1). Selain dihadiri anggota DPR, rapat terbuka dapat dihadiri oleh bukan anggota, baik yang diundang maupun yang tidak diundang (ayat 2). Namun sayangnya, ketentuan ini tidak mengatur alasan atau kriteria suatu rapat dilakukan tertutup, termasuk bagaimana status dokumen yang dipersiapkan, dibahas, dan beredar selama rapat tertutup berlangsung.

Terhadap rapat-rapat yang tertutup, DPR harus menetapkan sejumlah parameter  yang ketat, tidak asal memilih tertutup. Ketiadaan tolak ukur akan mengakibatkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan, karena lepas dari kontrol publik. Selain itu, dokumen yang dipersiapkan, dibahas, dan beredar selama rapat tertutup berlangsung, seharusnya dapat diakses dan dimiliki oleh masyarakat, agar dapat diketahui dokumentasi materi rancangan undang-undang yang dibahas. Mencontoh apa yang dilakukan oleh Panja RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Nomor 10 Tahun 2008), yang menerbitkan siaran pers (yang memuat kesepakatan rapat) setiap rapat Panja (tertutup) berakhir, seharusnya dapat dilembagakan melalui tata tertib DPR.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline