SANTA & CLAUS
“Apakah masih ada kebahagiaan untukku di dunia ini?”
Sewaktu aku kecil, aku hanya mengingat beberapa momen-momen tertentu saja dalam hidupku, termasuk ketika kebahagiaan terenggut dari kehidupanku, dari kehidupan kami. Aku hanya mengingat bahwa di setiap malam, sehabis papa pulang dari khotbah di suatu gereja dia selalu membawakan beberapa makanan untukku, kakakku cowok dan untuk mamaku. Dan juga beberapa momen yang lainnya.
Papaku adalah seorang pendeta yang kurang beruntung, dia adalah orang yang baik dan sayang kepada keluarga. Tetapi, apakah itu bisa disebut seorang papa yang sayang akan keluarganya sehingga dia rela melakukan segalanya, termasuk menukar kebahagiaan kami, mama tidak pernah menceritakannya kepadaku, kebahagiaan apa yang telah terenggut dari kami, setelah tumbuh dewasa aku menyadarinya, kebahagiaan apa yang telah terenggut dari kami…
***
Namaku adalah Claus, Stuart Claus, aku tidak pernah menanyakan arti namaku kepada kedua orangtuaku, aku ingin menanyakannya, tetapi, takdir berkata lain, orangtuaku sudah dipanggil oleh Tuhan sebelum aku sempat menanyakannya, ya, aku yatim piatu.
Sudah lebih dari 6 tahun yang lalu orangtuaku telah meninggal, meninggal karena penyakit, demikian kata dokter, kami orang miskin yang sering sakit-sakitan, tidak pernah makan makanan yang bergizi. Saat ini aku tidak tinggal dengan siapa-siapa, karena seluruh saudaraku membuangku, mereka malu dengan keberadaanku yang miskin dan sakit-sakitan ini, mereka takut tertular dengan ‘penyakit’ miskinku, mereka tidak pernah melihat keadaanku sama sekali. Tidak ada yang mau denganku, tidak ada yang mau dekat-dekat denganku. Aku juga tidak tahu dimana kakakku berada, apakah dia di luar sana masih hidup atau bagaimana nasibnya, aku tidak tahu.
Aku hanya berusaha untuk bertahan hidup dengan menjual koran dari jalan ke jalan. Seperti hari ini, aku mengacungkan tanganku yang tergenggam beberapa nama koran kepada para pengendara yang sedang berhenti di lampu lalu lintas. Beberapa ada yang terjual, aku bisa lega, aku bisa makan hari ini. Aku tidak pernah memikirkan apapun selain bisa makan saja sudah cukup bagiku.
“Koran… koran… koran….” teriakku setiap hari, setiap saat, kepada semua pengendara baik itu mengendarai mobil ataupun sepeda motor.
“Mas, koran…” teriak salah seorang pengendara mobil yang membuka kaca mobilnya, dengan semangat aku berjalan melangkah menuju orang itu, aku kemudian menyerahkan koran yang dimaksud oleh orang itu, dan dia memberiku uang seratusan ribu rupiah.
“Maaf, mas, apa tidak ada uang kecil?” tanyaku dengan sungkan, aku tidak mungkin menghitung kembalian uang untuk orang itu.
“Ambil saja kembaliannya, saya memberinya kepadamu.” tanya orang itu, dia sepertinya seumuran denganku, cuma saja dia jauh lebih kaya dan jauh lebih bersih dari aku.