Lihat ke Halaman Asli

Dokter Spesialis Hati

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sangat ingat sekali ketika pertama kali aku bertemu dengannya di UGD, saat itu aku datang sebagai pasiennya. Saat itu aku ingat sekali dia merawatku dengan sangat amat baik, waktu itu aku merasa bahwa dunia runtuh, aku mengalami kecelakaan motor dan daguku harus menerima 6 jahitan.

“Apakah sudah tidak  terasa sakit? Apakah tanganmu ada yang patah? Atau kepalamu tadi terbentur?” dia menanyai aku dengan berbagai macam pertanyaan yang hanya bisa kujawab dengan menggeleng dan mengangguk saja.

“Terima kasih,” ujarku terbata-bata saat itu, menahan rasa sakit yang berdenyut di sekujur tubuh. Dia merawatku. “Mungkin jika tidak ada kau aku sudah meninggal.”

Dia memandangku dan tersenyum, “Hidup dan mati ada di tangan Tuhan, aku hanya melaksanakan tugasku. Sekarang kau boleh pulang.” Dokter cantik itu memberiku resep obat.

Aku membaca resepnya, “Dokter Winda, bukan?” aku tersenyum, aku yakin sekali dia memiliki umur yang sama dengan umurku. Entah kenapa aku sangat yakin dengan hal itu.

“Iya, saya dokter Winda, jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa menelponku di nomor itu.”  Dokter Winda merapatkan jas dokternya dan menaruh stetoskopnya di atas meja. Aku seperti kehilangan kesadaran, bukan karena sakitku tapi karena wajahnya yang memang bagaikan Malaikat Penolong.

“Aku Rendy, kau bisa memanggilku Rendy.” Saat itu aku hanya terdiam dan mencoba mengulurkan tanganku untuk berkenalan dengannya.

Beberapa minggu setelah jahitan di daguku mengering, aku kembali lagi pada Dokter Winda untuk melepas jahitanku.

“Arrgh…” aku mengerang kesakitan, kulihat dia dengan sabar merawatku, wajah kami sangat dekat, tangan kanannya yang lembut menempel di daguku, sedangkan tangan kirinya bekerja melepas jahitanku. Aku merasa kikuk saat itu.

“Dokter, apakah minggu ini kau ada acara?” aku menanyainya dengan sedikit nada yang tersangkut di tenggorokan, ini pertama kalinya aku mengajak seseorang berkencan.

“Kencan?” dia tersenyum, jantungku serasa lompat dari tempatnya. Aku mengangguk perlahan. “Baiklah, aku hari sabtu dan minggu ini aku bebas tugas, aku akan datang.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline