Berjumpa dan memilihmu, ketika masih senja berteman sepi, mungkin merasa membuatmu hanya sekedar dipilih. Pilihan satu daripada kosong. Pilihan riuh daripada sepi. Pilihan kamu daripada sendiri.
Perlahan kamu merasakan sekedar dipilih tidak pernah menyenangkan dan perasaan menjadi racun. Kita semakin sering bertengkar dan larut ucapan-ucapan penyesalan dalam hati.
Sebetulnya pilihan kita tidak sesederhana itu. Berjumpa denganmu, seperti banyak doaku, telah lama aku minta kepada ibu takdir dan nasib. Ketika aku merengek dan merayunya. Saat bersimpuh diujung altarnya aku selalu menangis dan memohon untuk satu kesempatan. Aku memohon kesempatan dan waktu dimana nafasku tercekat dalam mulut, dimana kata-kataku habis tanpa bunyi, dimana jantungku berdebar dengan cepat dan dimana pilihanku terasa tepat tanpa pura-pura. Hari disaat mencintai datang begitu saja tanpa tendensi dan kepura-puraan
Sayangnya, perasaan selalu aneh. Dia datang silih berganti dengan banyak senyum dan tawa. Membawa banyak jenis rasa yang seolah-olah tulus. Kemudian tercampur dalam banyak kemunafikan nafsu yang menghancurkan banyak harapan. Berderai-derai air mata mengiringi kepergian banyak harapan, harapan para kekasih yang menyakiti dan disakiti.
Aku mulai mati rasa dan berhenti percaya pada prosesnya. Menjadi pelakon dan merasakan semua remuk redamnya membuat siapa pun hilang keyakinan. Aku tidak lagi berdoa untuk sebuah pertemuan dan berhenti percaya pada takdir.
Kemudian kita bertemu. Diantara banyak remuk redam, hiruk pikuk dan kesunyian yang membunuh kita menempuh jalan ini. Sayangnya kita terdistorsi kenangan yang membuat jalan ini tak mudah. Terlalu banyak asumsi dan keragu-raguan. Kita mendasarkan masa depan pada masa lalu dan berlarut-larut menjadi alasan pembenaran ucapan kita.
Kita terpuruk dalam dilema. Mencintai dengan hati yang tak utuh sangat menyiksa sehingga pada akhirnya kita pelan-pelan memilih untuk menjauh
Kehilangan itu sangat menyakitkan dan proses mencintai kembali itu tak pernah mudah. Mencintai dan dicintai membutuhkan proses yang lama dan penuh luka. Bukankah kita sudah melaluinya semua? Apakah kita akan mengijinkan masa lalu menjadi patokan langkah-langkah masa depan? Haruskah kita kembali memulai dari garis awal?
Andai kamu tahu, Kamu tak pernah sekedar kupilih...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H