Lihat ke Halaman Asli

Cerita Kopi

Diperbarui: 23 Mei 2016   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak terhitung sudah tulisan-tulisan yang memuja-muja kopi. Presentasi rasanya sering diterjemahkan dalam bentuk kalimat-kalimat hidup, bernyawa dan bahkan seringkali sukar diartikan. Yang membaca sekilas akan berpikir bahwa penikmat kopi hampir mirip dengan penyembah berhala. 

Terkadang kopi seperti harta karun berharga yang memerlukan tangan-tangan terampil dan ahli dalam menyajikannya. Dari mereka, kopi itu menjadi sesuatu yang hidup, memuaskan dan menjadi candu. Kita puas tapi menuntut lebih. Kemudian rasa pahit Robusta atau Arabika itu harus mampu lagi dibuat dalam rasa yang lebih rumit seperti rumitnya selera lidah.

Maka demi memuaskan lidah tadi, lahirlah banyak jenis rasa kopi dengan nama-nama sulit yang artinya pun tak awak tau seperti ekspresso, latte, Machiato, Capucino, Marachino dan banyak cino-cino yang lain. Sepertinya semakin sulit sebutannya semakin mahal pula harganya. Kenyataannya jenis kopi diatas khan rata-rata lebih mahal daripada segelas kopi Tubruk. Penyajian kopi pun berubah menjadi ajang seni, seni menyajikan dan seni memahami.

Bagi penikmat kopi, persoalan rasa adalah persoalan penting dan sangat pribadi. Menikmati Kopi dianggap menjadi penggambaran diri, kelas dan selera. Menjadi gaya hidup yang eksklusif dalam takaran yang berbeda-beda. Yang menggelikan adalah ketika kita justru lebih sering membayar tempatnya lebih mahal daripada presentasi rasa kopi yang kita terima. Akhirnya tidak mengherankan juga harga kopi pun menjadi anomali seperti rasanya itu sendiri.

Jangan berpikir kopi semakin mahal semakin nikmat. Belum tentu. Mungkin yang mahal itu biaya wifi sama senyuman waitressnya lho, hahaha....

Tetapi, apapun ceritanya, pecinta kopi dalam banyak versi mencari satu esensi yang sama. Rasa pahit. Rasa pahit yang membuai dan memberikan seulas senyum pencicipnya. Rasa yang menenangkan dan mengingatkan bahwa hidup dengan semua kepahitannya rupanya masih menyimpan kenikmatan. Menikmati tegukan-demi tegukan disertai ucapan syukur dan mengalami kesurupan setelah minum empat gelas berturut-turut..hahahhaa.

Sudahlah peminum teh dan tuak takkan mengerti ini...

Begitulah kopi pada akhirnya. Ia menjadi bahan praktek para ahli untuk memadu-madankan rasanya menjadi banyak rasa yang unik. Menjadi objek pemujaan pecinta kopi macam awak. Menjadi bahan gosip dan obrolan panjang. Bahkan menjadi tokoh utama dalam novel dan digilai banyak orang. Tetapi pada akhirnya ia selalu sama, tersenyum genit dan tak pernah lupa untuk memuaskan.

Nikmat kopi tak cukup digambarkan dengan kata-kata. Kau cobalah sendiri, sikit taroh gulanya. Kalau beli di warung jangan utang biar ga stress kau minumnya. Ga cocok kopi sama orang stress.

Peringatan:

** Minumlah kopi sebelum dingin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline